Ada semacam dorongan buat saya
untuk bikin secuil ulasan dan kesan tentang film terkeren di awal 2013 (menurut
saya). Ini bukan film box office yang
tayang di XXI, Anda juga nggak akan menemukan animasi canggih di film ini, aktor
dan aktrisnya pun biasa saja lagi tidak terkenal, tak banyak yang menonton
bahkan sangat kalah tanding dengan film import
di bioskop sebelah. Jika sebelumnya saya dikecewakan dengan ploting cerita film
dengan jenis yang sama, maka kali ini saya terpaksa membuang gengsi di depan
suami karena nangis bombay.
=====Sang Kiai=====
Saya teringat akan sebuah nasihat
mengenai filosofi membaca buku. Jika kita membaca satu buku maka kita akan fanatik
dan buta, membaca banyak buku akan membuat kita lebih bijak. Demikian pula
terhadap golongan, jika kita hanya menggali dan belajar dari satu golongan kita
akan fanatik, berusaha memahami golongan lain akan membuat kita semakin
mengerti. Untuk itulah saya memberanikan diri menerima ajakan menonton film
biografi KH. Hasyim Ash’ari, pendiri NU, golongan yang selalu saya garis bawahi
karena tingkah laku beberapa oknum yang gemar mencatut nama NU untuk
kepentingan propaganda anti-Islam (baca: JIL).
KH. Hasyim Ash’ari seperti yang
kita tahu merupakan pendiri Ponpes Tebuireng. Dalam film tersebut digambarkan
bahwa Ponpes Tebuireng memang menjadi pusat belajar agama yang sangat terkenal
hingga pulau Madura. Para santri di ponpes tersebut terlihat begitu taklid pada
Kiai. Wait! Taklid bukannya nggak baik? Ya ayo kita lihat dulu penyebab taklid
dan bentuk taklid di sini yaaa. Sang Kiai memilikiilmu yang luas juga sikap
rendah hati yang membuat semua orang ‘betah’ berdekatan dengan beliau,
khususnya para santri yang sangat menyayangi Kiai hingga suatu hari tentara
Jepang menjemput paksa Sang Kiai. Sang Kiai dicurigai menjadi dalang atas
pemberontakan di pabrik Cukir, para buruh menolak untuk diperintah menyembah
matahari. Akhirnya Sang Kiai dibawa tentara Jepang bersama ajudan setianya yang
memaksa ikut untuk menemani.
(Di scene ini saya benar-benar
dibuat galau, segitu kejamkah Jepang ke negeriku dulu, kok sekarang saya malah
jadi Japan Holic… :()
Tibalah scene interogasi oleh
komandan (yang akhirnya mati tragis dengan hara kiri), Sang Kiai menjelaskan
bahwa ia tidak terlibat terhadap kasus Cukir namun beliau juga sangat menentang
jika muslim dipaksa menyembah matahari karena itu berarti menggadaikan akidah. Sang
Kiai bahkan lebih memilih disiksa daripada menggadaikan akidah (kayak Bilal bin
Rabah). Dalam scene ini Anda akan disuguhkan banyak sekali pesan-pesan akidah
dari KH. Hasyim Ash’ari. Anda akan benar-benar seperti ditelanjangi karena
saking malunya, contoh: adzan berkumandang dan tanpa izin Sang Kiai bergegas
sholat. Ditanya oleh penerjemah, “Kiai mau kemana?”
“Kamu muslimkan? Apakah panggilan
itu tidak menyentuh hatimu? Allah memerintahkan kita untuk meninggalkan segala
aktivitas ketika mendengar adzan. Kafir
ini boleh saja merajam saya setelah saya melakukan shalat,” jawab Kiai –kira-kira
begitu saya lupa persisnya.
Menyadari bahwa Jepang tidak bisa
dilawan dengan kekerasan (karena akan lebih brutal) maka Wahid Hasyim (putra
sulung KH. Hasyim Ash’ari) dan para ulama Ponpes Tebuireng berstrategi melalui jalur
halus untuk membebaskan Kiai dan berhasil. Dengan bantuan seorang muslim Jepang
yang juga petinggi tentara Jepang lobi-lobi kaum muslim pun berhasil dan
terbentuklah MASYUMI. Masyumi merupakan majelis syuro para ulama yang fungsinya
menaungi kepentingan para muslim saat itu. Namun oleh tentara Jepang hal ini
memang sengaja agar para ulama menjadi rekan pemerintahan untuk kepentingan
Jepang. Sebagai contoh, para ulama diminta menyampaikan perintah untuk
melipatgandakan hasil bumi dengan mencatut firman Allah karena Jepang berpikir
bahwa rakyat Indonesia ini akan loyal jika demi agama (agak getir saya nonton
scene ini karena banyak banget fitnah ke Sang Kiai sampai dibilang membela
Jepang padahal kalau saat itu mereka melwan yang ada hanya kematian tanpa
perjuangan).
Di tengah masalah pelipatgandaan
hasil bumi (yang membuat rakyat kerja lebih keras) Jepang menawarkan untuk member
pelatihan kepada para santri dalam HEIHO. Tujuan awal pelatihan militer ini
untuk membantu Jepang melawan sekutu. Namun KH. Hasyim Ash’ari menjelaskan
bahwa tidak mungkin santri mau berjuang bukan demi bangsanya. Setelah berembuk bersama
Wahid Hasyim, dengan mempertimbangkan strategi peperangan, tawaran tersebut diterima
dengan syarat para santri berjuang untuk keamanan dalam negeri dan tidak masuk
dalam HEIHO, tentara santri ini dinamai Hizbullah.
Strategi berhasil, kemampuan santri dalam militer sangat bermanfaat dalam upaya
kemerdekaan RI.
Setelah merdeka, sekutu datang
dan mulai kembali peperangan. Suatu hari Sang Kiai didatangi utusan Bung Karno
yang menanyakan mengenai hukum membela
tanah air, para ulama bermusyawarah peristiwa inilah yang kemudian berakhir
dengan dikeluarkannya fatwa jihad, bahwa berjuang membela tanah air dan
mengusir penjajah merupakah jihad fi sabilillah, mati saat berperang berarti
syahid.
“Agama dan nasionalisme adalah
dua kutub yang tidak berseberangan. Agama adalah bagian dari nasionalisme,”
kata KH. Hasyim Ash’ari.
Kemudian terjadi serangan di Surabaya
dan yang baru saya ketahui ternyata seruan takbir Bung Tomo saat berorasi
melawan Belanda karena sebelumnya beliau meminta nasihat dari Kiai, mengawali serta mengakhiri sesuatu dengan
menyebut nama Allah adalah nasihat yang Bung Tomo terima.
Perjuangan para santri terus
berlanjut hingga Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada tahun 1949.
Menonton film ini kok membuat
saya berpikir bahwa muslim saat itu tidak memikirkan perbedaan ya, semua
bersatu dan hanya memiliki satu tujuan yaitu mengusir penjajah karena Allah. Begitu
banyak pelajaran yang saya terima.
1. Bersatu
karena akidah itu harga mati. Dalam suatu dialog KH. Hasyim Ash’ari mengatakan
bahwa segala sesuatu bisa dikompromikan kecuali akidah. Maka ketika saat ini
begitu banyak hal-hal yang memecah belah ummat saya teringat apakah yang membuat
kita terpecah adalah akidah? Ternyata bukan, kita semua masih meyakini bahwa
Allah adalah Tuhan Yang Esa, kita semua masih bersyahadat, sholat, kita
terpecah hanya karena masalah furu’ (cabang) yang bisa dikompromikan. Sikap ini
pula yang sebenarnya menjadi boomerang bagi para liberalis yang mencatut nama
NU dalam propagandanya. Ternyata pendirinya pun menyerukan tauhid, bukan seperti
yang disampaikan JIL bahwa satu tuhan itu tidak demokratis, semua agama sama,
kerasulan Muhammad hanya karangan Khadijah dll.
2. Berstrategi
itu penting. Saya sangat mengagumi karakter Wahid Hasyim, beliaulah santri
cerdas yang mampu berpikir beda dan mengutamakan strategi dalam perjuangan. Ini
mengingatkan saya kembali bahwa Rasul pun melakukan lobi-lobi atau jalur
diplomasi untuk kepentingan dakwah. Bisa dibayangkan jika saat itu Wahid Hasyim
dan Kiai tidak bergabung dengan pemerintah Jepang, maka perlawanan dari dalam
pun tidak bisa dilakukan. Tapi tantangannya juga luar biasa. bahkan Kiai sempat
dituduh oleh seorang santri tengah membela Jepang. Hm… Jadi, kalau sekarang ini
dipraktekan ya semacam masuk parlemen dan berkoalisi dengan pemerintah meskipun
fitnah luar biasa.
3. Pentingnya
berjamaah. Perjuangan kemerdekaan tidak hanya dilakukan oleh KH. Hasyim Ash’ari.
Para santri, ummahat, tokoh publik, semua bekerja sama dalam satu organisasi
yakni Ponpes Tebuireng agar lebih berstrategi. Seorang santri memutuskan keluar
dari ponpes karena kecewa dengan sikap Kiai yang menurutnya letoy (?) terhadap Jepang,
sehingga ia memilih berjuang sendiri menghabisi Jepang. Apa daya justru ia
sendiri merasa tidak sesuai dengan hati nurani (membantai Jepang dengan sadis),
pada akhirnya kembali ke ponpes dan mati syahid saat peristiwa tewasnya
Brigadir Mallaby. Walaupun seorang muslim memiliki kemampuan tinggi dalam
bekerja tetap saja ia harus berjamaah karena banyak sekali hal-hal yang tidak
dapat dilakukan jika sendiri.
4. Nasionalisme
adalah buah dari ketaatan. Yang membuat santri dan ulama bersatu dan bertekad kuat
salah satunya karena ketidakadilan yang
membuat mereka tidak leluasa berdekatan dengan Allah, dipaksa menggadaikan
akidah, hak-hak keummatan dicabut. Tidak ada cara lain kecuali mengangkat
senjata dan mengusir penjajah. Hikmah ini pun sebenarnya juga mengugurkan argument
begaJILan yang mengatakan bahwa Islam sangat jauh dari nasionalisme, jika seseorang
sudah membawa-bawa Islam maka dia tidak lagi menerima orisinalitas Indonesia,
anti perbedaan. Padahaaaaaal, justru musliminlah yang dulu berjuang mati-matian
membebaskan tanah air.
5. Jangan
percaya sama JIL kalau mereka NU. Sikap dan pemikiran mereka sangat jauuuuuh
dari nilai relijius nasionalis NU.
Segitu dulu
yang saya sampaikan, takut kalau kebanyakan malah akan jadi spoiler tingkat tinggi :P Ini film emang
greget deh dari segi cerita, saya sempat mbebes mili di scene-scene tragis
perlawanan. Nontonlah maka Anda akan lebih objektif dan dapat membandingkan NU
asli dengan NU imitasi. Selamat nonton!
Rumah
Peradaban, 5 Juni 2013
0 komentar:
Posting Komentar