Rabu, 05 Juni 2013

Perjuangan Besar dari Balik Dinding Pesantren (Review Film Sang Kiai)



Ada semacam dorongan buat saya untuk bikin secuil ulasan dan kesan tentang film terkeren di awal 2013 (menurut saya). Ini bukan film box office yang tayang di XXI, Anda juga nggak akan menemukan animasi canggih di film ini, aktor dan aktrisnya pun biasa saja lagi tidak terkenal, tak banyak yang menonton bahkan sangat kalah tanding dengan film import di bioskop sebelah. Jika sebelumnya saya dikecewakan dengan ploting cerita film dengan jenis yang sama, maka kali ini saya terpaksa membuang gengsi di depan suami karena nangis bombay.


=====Sang Kiai=====

Saya teringat akan sebuah nasihat mengenai filosofi membaca buku. Jika kita membaca satu buku maka kita akan fanatik dan buta, membaca banyak buku akan membuat kita lebih bijak. Demikian pula terhadap golongan, jika kita hanya menggali dan belajar dari satu golongan kita akan fanatik, berusaha memahami golongan lain akan membuat kita semakin mengerti. Untuk itulah saya memberanikan diri menerima ajakan menonton film biografi KH. Hasyim Ash’ari, pendiri NU, golongan yang selalu saya garis bawahi karena tingkah laku beberapa oknum yang gemar mencatut nama NU untuk kepentingan propaganda anti-Islam (baca: JIL).

KH. Hasyim Ash’ari seperti yang kita tahu merupakan pendiri Ponpes Tebuireng. Dalam film tersebut digambarkan bahwa Ponpes Tebuireng memang menjadi pusat belajar agama yang sangat terkenal hingga pulau Madura. Para santri di ponpes tersebut terlihat begitu taklid pada Kiai. Wait! Taklid bukannya nggak baik? Ya ayo kita lihat dulu penyebab taklid dan bentuk taklid di sini yaaa. Sang Kiai memilikiilmu yang luas juga sikap rendah hati yang membuat semua orang ‘betah’ berdekatan dengan beliau, khususnya para santri yang sangat menyayangi Kiai hingga suatu hari tentara Jepang menjemput paksa Sang Kiai. Sang Kiai dicurigai menjadi dalang atas pemberontakan di pabrik Cukir, para buruh menolak untuk diperintah menyembah matahari. Akhirnya Sang Kiai dibawa tentara Jepang bersama ajudan setianya yang memaksa ikut untuk menemani.

(Di scene ini saya benar-benar dibuat galau, segitu kejamkah Jepang ke negeriku dulu, kok sekarang saya malah jadi Japan Holic… :()

Tibalah scene interogasi oleh komandan (yang akhirnya mati tragis dengan hara kiri), Sang Kiai menjelaskan bahwa ia tidak terlibat terhadap kasus Cukir namun beliau juga sangat menentang jika muslim dipaksa menyembah matahari karena itu berarti menggadaikan akidah. Sang Kiai bahkan lebih memilih disiksa daripada menggadaikan akidah (kayak Bilal bin Rabah). Dalam scene ini Anda akan disuguhkan banyak sekali pesan-pesan akidah dari KH. Hasyim Ash’ari. Anda akan benar-benar seperti ditelanjangi karena saking malunya, contoh: adzan berkumandang dan tanpa izin Sang Kiai bergegas sholat. Ditanya oleh penerjemah, “Kiai mau kemana?”
“Kamu muslimkan? Apakah panggilan itu tidak menyentuh hatimu? Allah memerintahkan kita untuk meninggalkan segala aktivitas ketika mendengar adzan. Kafir ini boleh saja merajam saya setelah saya melakukan shalat,” jawab Kiai –kira-kira begitu saya lupa persisnya.

Menyadari bahwa Jepang tidak bisa dilawan dengan kekerasan (karena akan lebih brutal) maka Wahid Hasyim (putra sulung KH. Hasyim Ash’ari) dan para ulama Ponpes Tebuireng berstrategi melalui jalur halus untuk membebaskan Kiai dan berhasil. Dengan bantuan seorang muslim Jepang yang juga petinggi tentara Jepang lobi-lobi kaum muslim pun berhasil dan terbentuklah MASYUMI. Masyumi merupakan majelis syuro para ulama yang fungsinya menaungi kepentingan para muslim saat itu. Namun oleh tentara Jepang hal ini memang sengaja agar para ulama menjadi rekan pemerintahan untuk kepentingan Jepang. Sebagai contoh, para ulama diminta menyampaikan perintah untuk melipatgandakan hasil bumi dengan mencatut firman Allah karena Jepang berpikir bahwa rakyat Indonesia ini akan loyal jika demi agama (agak getir saya nonton scene ini karena banyak banget fitnah ke Sang Kiai sampai dibilang membela Jepang padahal kalau saat itu mereka melwan yang ada hanya kematian tanpa perjuangan).

Di tengah masalah pelipatgandaan hasil bumi (yang membuat rakyat kerja lebih keras) Jepang menawarkan untuk member pelatihan kepada para santri dalam HEIHO. Tujuan awal pelatihan militer ini untuk membantu Jepang melawan sekutu. Namun KH. Hasyim Ash’ari menjelaskan bahwa tidak mungkin santri mau berjuang bukan demi bangsanya. Setelah berembuk bersama Wahid Hasyim, dengan mempertimbangkan strategi peperangan, tawaran tersebut diterima dengan syarat para santri berjuang untuk keamanan dalam negeri dan tidak masuk dalam HEIHO, tentara santri ini dinamai Hizbullah. Strategi berhasil, kemampuan santri dalam militer sangat bermanfaat dalam upaya kemerdekaan RI.

Setelah merdeka, sekutu datang dan mulai kembali peperangan. Suatu hari Sang Kiai didatangi utusan Bung Karno yang menanyakan mengenai hukum membela tanah air, para ulama bermusyawarah peristiwa inilah yang kemudian berakhir dengan dikeluarkannya fatwa jihad, bahwa berjuang membela tanah air dan mengusir penjajah merupakah jihad fi sabilillah, mati saat berperang berarti syahid.

“Agama dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Agama adalah bagian dari nasionalisme,” kata KH. Hasyim Ash’ari.

Kemudian terjadi serangan di Surabaya dan yang baru saya ketahui ternyata seruan takbir Bung Tomo saat berorasi melawan Belanda karena sebelumnya beliau meminta nasihat dari Kiai,  mengawali serta mengakhiri sesuatu dengan menyebut nama Allah adalah nasihat yang Bung Tomo terima.

Perjuangan para santri terus berlanjut hingga Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada tahun 1949.

Menonton film ini kok membuat saya berpikir bahwa muslim saat itu tidak memikirkan perbedaan ya, semua bersatu dan hanya memiliki satu tujuan yaitu mengusir penjajah karena Allah. Begitu banyak pelajaran yang saya terima.

1.       Bersatu karena akidah itu harga mati. Dalam suatu dialog KH. Hasyim Ash’ari mengatakan bahwa segala sesuatu bisa dikompromikan kecuali akidah. Maka ketika saat ini begitu banyak hal-hal yang memecah belah ummat saya teringat apakah yang membuat kita terpecah adalah akidah? Ternyata bukan, kita semua masih meyakini bahwa Allah adalah Tuhan Yang Esa, kita semua masih bersyahadat, sholat, kita terpecah hanya karena masalah furu’ (cabang) yang bisa dikompromikan. Sikap ini pula yang sebenarnya menjadi boomerang bagi para liberalis yang mencatut nama NU dalam propagandanya. Ternyata pendirinya pun menyerukan tauhid, bukan seperti yang disampaikan JIL bahwa satu tuhan itu tidak demokratis, semua agama sama, kerasulan Muhammad hanya karangan Khadijah dll.


2.       Berstrategi itu penting. Saya sangat mengagumi karakter Wahid Hasyim, beliaulah santri cerdas yang mampu berpikir beda dan mengutamakan strategi dalam perjuangan. Ini mengingatkan saya kembali bahwa Rasul pun melakukan lobi-lobi atau jalur diplomasi untuk kepentingan dakwah. Bisa dibayangkan jika saat itu Wahid Hasyim dan Kiai tidak bergabung dengan pemerintah Jepang, maka perlawanan dari dalam pun tidak bisa dilakukan. Tapi tantangannya juga luar biasa. bahkan Kiai sempat dituduh oleh seorang santri tengah membela Jepang. Hm… Jadi, kalau sekarang ini dipraktekan ya semacam masuk parlemen dan berkoalisi dengan pemerintah meskipun fitnah luar biasa.


3.       Pentingnya berjamaah. Perjuangan kemerdekaan tidak hanya dilakukan oleh KH. Hasyim Ash’ari. Para santri, ummahat, tokoh publik, semua bekerja sama dalam satu organisasi yakni Ponpes Tebuireng agar lebih berstrategi. Seorang santri memutuskan keluar dari ponpes karena kecewa dengan sikap Kiai yang menurutnya letoy (?) terhadap Jepang, sehingga ia memilih berjuang sendiri menghabisi Jepang. Apa daya justru ia sendiri merasa tidak sesuai dengan hati nurani (membantai Jepang dengan sadis), pada akhirnya kembali ke ponpes dan mati syahid saat peristiwa tewasnya Brigadir Mallaby. Walaupun seorang muslim memiliki kemampuan tinggi dalam bekerja tetap saja ia harus berjamaah karena banyak sekali hal-hal yang tidak dapat dilakukan jika sendiri.


4.       Nasionalisme adalah buah dari ketaatan. Yang membuat santri dan ulama bersatu dan bertekad kuat salah satunya karena ketidakadilan  yang membuat mereka tidak leluasa berdekatan dengan Allah, dipaksa menggadaikan akidah, hak-hak keummatan dicabut. Tidak ada cara lain kecuali mengangkat senjata dan mengusir penjajah. Hikmah ini pun sebenarnya juga mengugurkan argument begaJILan yang mengatakan bahwa Islam sangat jauh dari nasionalisme, jika seseorang sudah membawa-bawa Islam maka dia tidak lagi menerima orisinalitas Indonesia, anti perbedaan. Padahaaaaaal, justru musliminlah yang dulu berjuang mati-matian membebaskan tanah air.


5.       Jangan percaya sama JIL kalau mereka NU. Sikap dan pemikiran mereka sangat jauuuuuh dari nilai relijius nasionalis NU.


Segitu dulu yang saya sampaikan, takut kalau kebanyakan malah akan jadi spoiler tingkat tinggi :P Ini film emang greget deh dari segi cerita, saya sempat mbebes mili di scene-scene tragis perlawanan. Nontonlah maka Anda akan lebih objektif dan dapat membandingkan NU asli dengan NU imitasi. Selamat nonton!

Rumah Peradaban, 5 Juni 2013

0 komentar:

Posting Komentar