Muka saya kalau sudah ketemu bacaan tentang Jepang. |
Meskipun suka Jepang, belum pernah terlintas di pikiran untuk tinggal lama di sana. Mungkin satu atau dua hari cukuplah, berharap ketika di sana sedang musim dingin atau semi. Tapi, pantas enggak sih orang yang bahkan malas ngurus paspor dan KTP punya mimpi jalan-jalan ke luar negeri? Heu, ironis.
Hwell, selain masalah imigrasi ada hal yang bikin saya enggak minat berlama-lama tinggal di Negeri Sakura, yaitu perbedaan budaya yang cukup banyak. Err, sebetulnya saya bingung mau pakai istilah apa, mau dibilang banyak juga enggak terlalu, dibilang sedikit juga sebenarnya banyak. Secara geografis Jepang dan Indonesia masih berdekatan, maka masih ada sifat-sifat alam yang sama (oke, teori dari mana ini?). Saya dan suami memiliki cara pandang yang sama soal budaya sopan santun dan Jepang (di mata kami) lebih mirip dengan Indonesia daripada Eropa atau Amerika. Mau contoh? Kalau kalian sedang enggak ada kerjaan bisa iseng browsing tentang tingkatan bahasa mereka. Di Jepang, bicara ke orang tua berbeda dengan teman sebaya atau musuh. Mirip Jawa, belajar satu bahasa kayak belajar tiga bahasa (mbadok-mangan-dahar :v). Jadi untuk kamu yang memuja kehidupan Jepang tetapi masih seenaknya bicara ke orang yang lebih tua: I'm sorry kids, you seem still need to read more about Japan :p Masih banyak kemiripan budaya antara Indonesia dan Jepang. Tetapi inti tulisan ini adalah ke perbedaan dua negara tersebut, maka mari kita ke sana aja untuk meringankan beban pengangguran ini.
Gimana cara mereka pilih makanan halal?
Singkatnya, masalah perutlah yang paling menguras perhatian. Apa? Makan untuk hidup, kamu harus makan yang baik-baik kalau mau hidupmu normal, dan enak bukan parameter utama dari kebaikan itu.
Sudah jelas, di negara-negara minoritas muslim halal bukan menjadi kebutuhan masyarakat umum. Mereka enggak mengkhawatirkan apa yang muslim jadikan prioritas terhadap urusan perut. Setiap pengusaha enggak merasa wajib memberikan sertifikat halal ke produk mereka. Berbeda dengan Indonesia, karena halal sudah menjadi kebutuhan mayoritas, banyak produsen yang terdorong mengusahakan sertifikat halal. Memang agak mengecewakan kalau alasan mereka demi keuntungan, tetapi bisa enggak sih kita fokus ke enaknya aja? Misalnya, makan jadi tenang dan ada yang bertanggung jawab di akhirat kalau seandainya itu tidak halal :v //disambit
Ketika kita hidup di negara yang tidak menyadari kebutuhan jaminan produk halal, maka yang harus berusaha keras adalah diri sendiri sebagai konsumen. Saya sih yakin, sudah banyak pusat makanan halal di negara minoritas muslim, banyak beritanya, hati pun jadi gembira. Masalahnya hanya mau berusaha mencari itu atau enggak. Jadi sampai sini ngerti ya alasan kenapa saya enggak terlalu minat tinggal di Jepang? Serius deh, cari-cari label halal MUI aja kadang masih malas (tapi ini wajib dilakuin T_T) apalagi cari tempat belanja dan restoran khusus muslim.
Halal merupakan cara Islam menjaga muslim secara lahiriah maupun batiniah. Jika lahiriah muslim terjaga maka batin akan mengikuti begitu sebaliknya (cari hidup tenang di Islam itu gampang). Yang paling banyak diberi perhatian selama ini memang masalah konsumsi, tetapi kayaknya masalah tersebut juga paling dianggap mudah dan disepelekan. Seolah yang haram hanya babi (dalam bentuk yang sesungguhnya) dan khamr, padahal kalau mau teliti produk turunan dari dua benda itu banyak dan sering menyebabkan syubhat (keragu-raguan).
Sedikit berbelok dari halal in Japan ke halal corner Indonesia. Lagi-lagi kita harus bersyukur karena tinggal di negara mayoritas Islam (jangan melulu dicela ya karena kekurangan ini itu :p). Seperti yang sudah saya sampaikan, kesadaran dan payung hukum kehalalan Indonesia sudah cukup baik. Produsen bisa melakukan proses sertifikasi halal untuk produk mereka kemudian tercatat di LPPOM MUI. Kalau melanggar peraturan (produk terbukti mengandung senyawa haram) bisa diadili. Ragu karena desas-desus? Bisa cek langsung ke website halal MUI, ada daftar nama produk dan semua tentang sertifikasi halal. Enggak perlu bikin gaduh deh kayaknya, tinggal klik dan baca.
Sebagai penutup dari tulisan tak berinti ini (lihat aja judulnya, mana nyambung sama isi), saya cuma mau mengajak teman-teman yang baca untuk lebih agresif mencari informasi yang sensitif. Keterbukaan informasi zaman ini bikin kita jadi kuno kalau sampai termakan huru hara tak bertanggung jawab. Tugas kita sebagai orang yang makan bangku internetlah yang harus mendidik masyarakat, bukan malah bikin was-was karena satu-dua sumber yang cuma modal salin-tempel. Heheu. Tetapi kalau sudah terlanjur ikut ribut ya tanggung jawab dong dengan bikin klarifikasi.
Orang di beranda medsos kamu enggak bisa lihat ekspresi bersalah yang unyu begini, tauk. :p |
0 komentar:
Posting Komentar