Rabu, 22 April 2015

Nilai Seorang Kader

Saya masih ingat bagaiaman euforia menjadi mahasiswa. Saat itu saya bersama seorang teman SMA (yang semula tidak terlalu dekat) memulai kehidupan di kampus kecil tertutup di tengah jantung kota Bogor. Kami sama-sama haus akan dunia baru dan satu-satu-nya hal ingin kami coba adalah ikut aksi sebuah gerakan nasional bernama KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Sebagai laki-laki, dia tentu lebih gesit untuk ikut ini-itu. Menang start, dengan bangga ia memberi saya satu slayer KAMMI yang didapatkan di aksi pertamanya.

Memang dasarnya cowok supel, baru beberapa minggu kuliah sudah punya kelompok nongkrong yang bodor pisan, saya pun hanya geleng-geleng kepala saat dia dan teman-temannya melakukan hal-hal aneh untuk cari perhatian. Kemudian, dengan tubuhnya yang sangat mencolok ia berhasil membuat kami tertawa geli karena seragam ospek yang diberikan panitia tidak ada yang muat.

"Itu siapa sih yang pakai kemeja merah marun?" seolah kalimat tadi menjadi awal mula semua mengenalnya.

Berbulan-bulan kemudian ia sudah yakin dengan jati dirinya, seorang aktivis (yang bisa dikatakan) paling santai dengan khas gayanya, selalu mengendarai motor bebek tua hitam yang kerap mengenakan sarung saat ada agenda mabit (malam bina iman dan taqwa) KAMMI.

Saat harus tertinggal teman seangkatan wisuda pun tetap tegar dan mengerjakan apapun yang ia bisa. Ia tidak pernah menyalahkan organisasi yang ia ikuti, bahkan lebih giat menyeimbangkan semua. Maka semakin dalam rasa kagum kami padanya.


Hari ini (20/04/2015) kami kehilangan sosok paling terbuka sekaligus tertutup itu, sahabat yang sangat menginspirasi dalam kesederhanaan dan ketulusan. Lalu Allah menghadiahkan sebuah kematian dengan proses yang sangat mudah dan tenang sebagaimana keinginan terakhirnya untuk 'tidak membuat khawatir orang-orang'. Banyak filsuf mengatakan perihal kematian, bukan mereka yang sudah tiada yang patut dikasihani melainkan kita yang masih bernapas. Maka kasihanilah hidup ini dengan menyiapkan akhir sebaik mungkin.



Ia adalah representasi seorang kader yang mengerahkan segala kemampuan untuk ketercapaian visi kelompoknya. Tak pernah membatasi diri dalam memberikan semua yang ia miliki. Pada dasarnya kita tidak akan pernah tahu seberapa batas yang dimiliki seseorang, tetapi kami yakin bahwa ia adalah sosok yang selalu ingin melawan batas-batas itu sehingga menjadikan dirinya benteng rekan-rekan di sekitar. Berbahagialan, Kawan, semangat perjuanganmu sudah kami rasakan.

Jika ada penyesalan yang saya rasakan, maka itu adalah ketidakpekaan terhadapnya. Sebagai  orang terlama yang mengenalnya di kampus, saya merasa gagal memahami.

Serangkaian berita duka ini turut memberikan pelajaran berharga bagi saya bahwa nilai dari seorang kader sungguh besar sehingga kita tidak pantas menyatakannya dalam sebuah bilangan. Kehadiran seorang kader adalah napas sebuah gerakan dan kekuatan terbesar gerakan pun disokong oleh kader-kader itu sendiri. Maka jadikanlah pemecatan/pembekuan kader sebagai jalan terakhir untuk menyelematkan gerakan karena kita tidak pernah tahu seberapa batas dan ketulusan mereka.

Sungguh, inikah pesan terdalam yang pernah disampaiakan guru-guru kami?

Mengenangmu,
Dimas Hermawan bin Didi Nuryadi
Mahasiswa AKA, Kader KAMMI Bogor, dan sahabat kami yang terbaik



0 komentar:

Posting Komentar