Rabu, 31 Juli 2013

Pindah Domisili

Beberapa hari sebelum sowan ke rumah orang tua, kami menyempatkan untuk service si kuning (motor). Saya terjebak rayuan maut untuk mau ikut ke bengkel, ternyata lama banget, tahu gitu kan nggak ikut. Tetapi alkhamdhulillah sih diajak jadi tahu gimana rempongnya bapak-bapak yang punya motor. Hi hi. Karena uring-uringan (baca: lapar) akhirnya diajak jajan ke minimarket dan berhasil disogok dengan beberapa kripik dan minuman. Sambil makan saya lihat-lihat di sekitar bengkel yang terletak di pinggir jalan utama menuju pasar tradisional langganan belanja mingguan.
Tempatnya ramai lalu lalang kendaraan. Tapi yang buat saya heran kenapa banyak anak-anak yang main kejar-kejaran di sana. Tidak lama kemudian pikiran saya pun menjawab dengan sangat sederhana, "Inikan kota besar, Bu." Ah iya. Entah apa yang membuat saya saat itu langsung murung dan jadi tidak terlalu nafsu menghabiskan jajan sogokan. Saya tiba-tiba teringat banyak hal mengenai kota.

Sejak kecil saya hidup di tengah perkampungan yang sangat  seadanya. Orang tua juga selalu sederhana dalam membesarkan saya, tak pernah menyentuh hal-hal mewah a la kehidupan kota. Bahkan saya hanya bisa berangan-angan bagaimana rasanya jika saya tinggal di gedung-gedung tinggi seperti yang diperlihatkan siaran tv. Saya selalu penasaran dengan tempat-tempat yang dijadikan tempat syuting. Ingin sekali pergi ke mall, makan KFC, jalan-jalan ke water boom, dan lain-lain. Bahkan sewaktu kami sekeluarga sowan ke Yogya, rasa kagum dan debaran jantung meningkat saat saya  menyaksikan langsung betapa indahnya gemerlap lampu-lampu kota. Norak ya? Namanya juga anak kampungan yang dari lahir hingga remaja tinggal di kampung.

Penerimaan mahasiswa merupakan hal besar yang mengubah cara pandang saya sampai sekarang. Meskipun bayangan keindahan tinggal di kota masih terus berada di dalam khayalan. Kepala ini disibukan dengan hal-hal tidak penting, yakni bagaimana bersikap dan bergaul dengan orang kota. Akhirnya karakter yang sebenarnya pendiam dan tidak suka banyak bercanda sengaja diubah 180 derajat demi mendapatkan kesan 'terbuka' agar bisa bergaul dengan baik. And the story was begun...

Saya percaya bahwa segala hal yang menjadikan kita seperti sekarang tak lepas dari berbagai proses di masa lalu, dan kekecewaan demi kekecewaan terhadap cara pandang saya mengenai kota sudah dimulai sejak Ramadhan tiga tahun lalu. Air mata yang saya janjikan tidak akan menetes dengan cepat ternyata mengkhianati, ia menetes pada sajadah di sujud terakhir sholat terawih berjamaah malam pertama Ramadhan. Memang rasa sedih punya cara sendiri untuk terbebas dan menampakkan diri ke semua manusia yang bisa melihat dan merasakan. Saya perhatikan satu per satu teman satu kost, air muka kami sama, kami sama-sama dari kampung, kami juga sama-sama sedih saat Ramadhan tidak disambut baik oleh orang-orang di sini, di kota ini. Kami pergi bergerombol (sekitar lima orang) hendak melaksanakan sholat terawih di masjid besar yang ada di pinggir jalan utama kota Bogor, letaknya pas di depan kebun raya. Di tengah jalan kami mendengar sindiran pria-pria kurang kerjaan yang nongkrong, mereka mencibir kami yang mengenakan mukena. Setelah sampai masjid, kaget bukan kepalang. Jamaah sholat hanya ada beberapa perempuan dan laki-laki yang juga sedikit. Duh Gusti, sungguh ini Ramadhan terburuk yang pernah saya alami.

Tak lama sejak peristiwa sholat terawih itu kami bertekad menghidupkan Ramadhan kami sendiri a la orang kampung dengan jamaah di kost yang sangat sempit lagi mahal. Belum cukup dengan itu kami menyaksikan secara langsung konflik sosial antar tetangga yang sangat jarang terjadi di tempat tinggal kami. Bahkan tidak jauh dari tempat kost kami banyak sekali gelandangan dan pengemis yang (sepertinya) hidup menetap di trotoar depan bangunan  mewah seperti perhotelan dan perkantoran. Kembali merenung, inikah kota indah yang dulu saya puji-puji dalam mimpi? Terlihat indah namun palsu.

Namun, sepertinya Allah memang telah mempermainkan saya. Terjadi begitu banyak peristiwa yang membuat saya merasa begitu jahat jika hanya mengutuk kondisi kota, karena kenyataannya saya bisa meihat hal-hal besar karena saya tinggal di kota. Saya bertemu dengan banyak tokoh inspiratif karena saya tinggal di kota. Saya bisa menimba ilmu sosial dan kehidupan yang luar biasa karena saya tinggal di kota. Bahkan di kota inilah saya mendapati sebuah pemandangan yang begitu luas membentang, terlepas dari hal-hal kolot yang seharusnya ditinggalkan. Lalu, apakah ingin menetap tinggal di kota? Eum... belum waktunya menjawab.

Selama kuliah saya belajar bagaimana mengaitkan kehidupan latar belakang seseorang dengan etos sikap dan kerja dalam sebuah organisasi. Hasil pengamatan saya mengantarkan pada sebuah teori praktis bahwa seseorang yang memiliki latar belakang begitu berat (misalkan dia bekerja keras di kampung halaman) akan memiliki tingkat kedewasaan yang lebih baik daripada mereka yang dibesarkan di lingkungan kota. Jadi beruntunglah orang-orang kampung yang tinggal di kota dan mampu berkembang dengan baik untuk membangun daerah asal mereka. Pengamatannya sih ngasal, hanya karena suka mengamati teman-teman seorganisasi yang serius dan bertanggung jawab, tapi nggak semua orang kampung itu oke dan nggak semua orang kota jelek kok, namanya juga pengamatan asal.

Tentang kota dan kampung, keduanya memiliki keunggulan dan kelemahan. Antara kota dan kampung, sungguh membingungkan. Ini yang membuat saya dan suami membuat pertimbangan akan menetap di mana mengingat tinggal beberapa bulan lagi kontrakan rumah kami jatuh tempo. Kami tidak bisa memungkiri bahwa kami merasakan fasilitas keilmuan (dunia dan akhirat) yang berharga ini ya dari kota, ami belajar banyak hal di kota, kami bisa mendatangi majelis ilmu dengan mudah di kota, sumber buku juga melimpah dan kesempatan untuk lebih banyak menimba ilmu juga besar. Sayangnya kehidupan kota masih terlalu berat untuk kantong dan kesehatan jasad dan sosial, selain polusi kami juga pesimis terhadap lingkungan individualis yang mencetak anak kami kelak. Di kampung kami bisa merawat jasadiyah karena lingkungan yang sangat sehat, hijau, minim polusi, dan area yang sangat luas yang cocok untuk mendidik anak-anak kami. Akan tetapi fasilitas di kampung tidak cukup memadai contohnya liqo dan mentoring serta toko buku Islami.

Akhirnya setelah berpikir objektif dan semoga Allah meridhoi kami mendapatkan jalan keluar. Untuk domisili tetap kami memilih kampung halaman kami, di sana suami sudah punya rumah yang dibangun dulu saat beliau sekolah SMP, sekarang ditempati kakek dan nenek sementara ibu dan bapak ada di rumah satu lagi yang di gunung. Sebenarnya itu sudah cukup sebagai alasan kuat untuk menetap di kampung, ibu dan bapak butuh anak mereka untuk merawat nanti di hari tua :'). Untuk fasilitas keilmuan, insyaa Allah kami akan berikhtiar memenuhi kebutuhan kami dulu, mengumpulkan energi untuk membangun fasilitas sendiri di sana, setidaknya menjadikan diri kami sebagai fasilitas itu untuk anak, orang tua, dan tetangga dekat. Semoga Allah senantiasa membantu hamba-Nya yang berusaha.

Kesimpulannya, kami akan pindah domisili sekitar bulan Februari 2014 jika tidak ada halangan dan suami sudah dapat alternatif penghasilan.  Senang rasanya bisa menjadi lebih baik di lingkungan seperti sekarang. Lingkungan kota inilah yang mengubah seorang egois seperti saya menjadi seorang yang optimistis. :)

Categories: ,

0 komentar:

Posting Komentar