Sabtu, 20 April 2013

Monster Fanatik, Me?


Curhat ah. Dari umur 9-17 tahun saya ngaji pakai manhaj salafi dan mazhab Imam Ahmad bin Hanbal. Tiap kali sholat ataupun sholawatan kerjaannya ngedumel mulu. Sibuk ngurusin kaki nempel apa nggak, pakai sayyidina apa nggak, tahlilan apa nggak, rambut akhwat haid (maaf) boleh dibuang apa nggak, dzikirnya pagi petang atau almatsurat. Saya dan kawan-kawan yang bermazhab sama selalu kesel tiap kali ada sholat jamaah dan acara kumpul-kumpul yang di situ heterogen banget. Saking stresnya (karena takut amalan tidak sah dan tidak diterima/bid'ah) akhirnya kami buat koloni sendiri, baik saat sholat jamaah maupun saat beraktivitas, sibuk menggunjing syariat orang lain. Saya juga sibuk mencemooh masjid NU di depan rumah....


Intinya umur segitu saya jadi monster fanatik. Bukan. Bukan salah mazhab atau imam yang saya ikuti. Ini murni karena ketidakmauan saya mempelajari mazhab fiqh lain. Bahkan karena terlalu ashobiyah dengan Imam Ahmad saya jadi (sering) menyalahkan Imam Syafi'i (T_T). Jujur saya akui karena kefanatikan ini aktifitas sosial sangat terganggu. Apa ya? Paranoid? Iya, paranoid jika yang saya lakukan (dengan panduan selain Imam Ahmad) tidak diterima Allah. Saya pikir golongan saya yang satu-satunya ahli sunnah wal jamaah *toeng.

Setelah kuliah dan ikut liqo alkhamdhulillah jadi sadar kalau dulu saya nyebelin 24 karat. Bukan. Bukan kena doktrin dari mazhab lain. Apa ya? Prioritas? Ya, saya selalu ditunjukkan dengan prioritas-prioritas yang harus dipikirkan dan dikerjakan dulu dibanding mencemooh dan menganggap golongan sendiri suci. Selain proritas juga selalu ditanyai solusi dari masalah ummat. Apakah menghujat antargolongan (yang juga mengikuti ijtihad imam 4 mazhab) bisa menyelesaikan masalah ummat saat ini. Bisakah hanya dengan mencemooh 70% muslim Indonesia bisa taubat dan sholat 5 waktu? Yang ada ummat ikut-ikutan paranoid.

Apalagi setelah menikah, perbedaan sudut pandang itu semakn nyata. Suami saya pakai Imam Hanafi (yang jauh lebih fleksibel daripada Imam Syafi'i). Kalau tidak dikuatkan dan kondisi masih seperti tahun-tahun fanatik itu, mungkin kisah cinta kami layak diberi judul "Cinta Beda Mazhab".

Ok, curhat selesai, ambil hikmahnya aja. Selagi masih satu Tuhan kita saudara seagama, broh. :P
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar