Minggu, 10 Maret 2013

Tolooong, Ana Dianggurin!



Angin malam yang dingin menggigit tengkuk membawa jari-jari makin gatal untuk menari di atas keyboard notebook yang sudah lama menemani perjalanan dakwah seorang ikhwah. Modem terpasang dengan mantap, kecepatan optimum siap mengantaran sang ikhwah ke dunia lain (baca: dunia maya). Sederet bookmark ia buka dan matanya terfokus pada dua link yakni facebook dan twitter. Wow, sehari saja sudah banyak notifikasi yang masuk. Sang ikhwah pun tenggelam dalam aktivitas maya selama berjam-jam.


Tiba-tiba dalam beranda facebook-nya ia melihat temannya yang satu amanah dengannya meng-upload foto-foto bersama (sepertinya) kelompok halaqa, terlihat riang walau dalam kondisi kotor pasca bersih-bersih kampung banjir. Ikhwah tersebut tersenyum dan turut senang dalam hati. Tak berapa lama kemudian ada seorang adik tingkatnya yang sedang meng-update status, isinya tentang kegiatan dan perjuangan dakwah kampus untuk menyemangati diri dan teman-teman yang lain. Sang ikhwah kembali tersenyum, kali ini jari-jarinya mengetikkan sesuatu di kolom update status:

“Tolooong, ana dianggurin nih.” Entah apa yang dipikirkan oleh ikhwan kita ini, dia terlihat sangat tersiksa dengan kondisinya sekarang, berkali-kali ia menggalau di dinding facebook dan twitter, mencurahkan apa yang tengah ia rasakan: ingin bekerja (dakwah), ingin tahu banyak hal (sama halnya dengan rekannya yang lain), merasa tidak tahu apa-apa dan diacuhkan.

Di luar itu ada seorang ikhwah lain yang terus mengamati pola psikologis ikhwah tadi dan mengaitkan dari berbagai sudut pandang. Akhirnya, ikhwah pengamat tersebut malah terkontaminasi galau dan inilah karyanya. (heh!)

……………..

Oke, jangan gebukin saya. Itu tadi ilustrasi gagal saja dari seorang ibu rumah tangga yang sedang galau besok mau masak apa (plak). Jadi tema blogging hari ini adalah ‘fenomena pengangguran dakwah’. Sebenarnya bukan karena siapa atau kejadian apa, ini murni curhatan saya yang sedang labil pasca menikah, ada banyak transformasi kegiatan mirip seperti yang dialami oleh beberapa teman pasca kampus. Namun, setelah saya amati beberapa hari ternyata galau mengenai beberapa kader yang masih ‘beramanah’. Well,  santai saja bro. Ssst… dengan status aneh saya ini (mendadak alumni-karena menikah dengan alumni dan keluar secara formal dari kampus) saya berharap dapat memberikan pandangan yang lebih objektif.

Sebelum menulis celoteh ini saya membaca dua buah artikel yang bernuansa sama yakni tentang pasca kampus. Satu artikel berisi mengenai analisis pribadi tentang sebab terjadinya pengangguran dakwah, artikel satu lagi justru berisi gugatan mengenai keluhan-keluhan kader pasca kampus. Keduanya saling berhubungan, ya seperti ask-question-lah. Baiknya baca dulu ya manteman…


Pengangguran dakwah? Apa itu? Gampangnya begini, pengangguran dakwah adalah suatu status galau yang dialami seorang aktivis yang dulunya sangat aktif lalu mendadak jadi pasif karena tidak terlibat (baik konsep maupun teknis) agenda dakwah atau status yang tersemat pada seorang aktivis yang masih aktif namun seakan tidak pernah mendapatkan amanah dan dia merasakan hal ini tengah ia rasakan.

Definisi pertama biasanya disematkan untuk para alumni yang telah melewati fase kampus (biasa disebut pasca kampus), sedangkan yang kedua ya untuk yang masih aktif tapi merasa tidak dapat amanah dan kadang merasa sangat tertinggal dari rekan-rekannya yang lain (yang cenderung lebih aktif untuk sekadar syuro atau nongkrong di kampus). Kondisi saya pribadi sebenarnya lebih mewakili untuk membahas yang pertama (pasca kampus) namun saya pun merasa lebih tertarik untuk sedikit berpendapat mengenai hal kedua, masih aktif tapi pasif (?).

Bermula dari tulisan dan sekarang saya komentari melalui tulisan agar letak kesalahan bisa lebih transparan untuk dikoreksi. Bermula dari tulisan yang dipostingkan di social-media saya mendapati sinyal bahwa ada yang ‘tidak beres’ dan kini akan coba saya tanggapi melalui tulisan pula (yang lebih panjang dan memuaskan, he he he). Tidak beres? Dari mana tahunya? Dari kalimat menjurus ke arah situ. Makanya hal-hal seperi harus segera ditabayunkan terlebih dulu apakah memang sedang tidak nyaman dengan kondisi ‘dakwah’ atau memang sedang membahas topik lain? Bisa berabe kalau si fulan menulis kalimat A tapi ditanggapi B dan itu panjang lebar seakan memberi tausyiah. Well, ada dua ketidak-ahsan-an. Pertama: menasihati tanpa tahu duduk perkara sebenarnya, kedua: menasihati di depan umum (komentar facebook yang dapat dibaca semua orang). Hikmah: jangan asal nyamber (saya mau tobat rasanya dulu sedzalim ini).

Merasa dianggurkan?

Merasa tertinggal?

Merasa tidak digunakan?

Tiga hal ini pernah saya alami semua, saya merasa punya banyak informasi dan keahlian yang dibutuhkan untuk kepentingan dakwah, saya siap diperintah oleh pimpinan untuk melakukan apa saja, kapan saja, tugas seberat apapun! Bahkan saya selalu menawarkan hal-hal yang tidak pantas seperti menawarkan diri sebagai pemberi pertimbangan terhadap suatu masalah. Tapi ternyata saya tidak direspon, jawaban yang saya terima hanyalah jawaban-jawaban normatif yang tak kunjung saya dapatkan intinya. Hingga beberapa minggu saya memilih untuk kesal pada orang-orang yang saya maksud. Di sisi lain saya sangat iri kepada mereka yang begitu aktif mengerjakan dan ikut serta dalam agenda dakwah, ke desa A, ke masjid B, ikut dauroh C, sedang syuro D. Kok saya tidak diajak sih????

Sehingga saya menyimpulkan bahwa fenomena ‘tolooong, ana dianggurin’ sangat mudah dialami oleh kader yang tengah berada di gunung semangat dan siap melakukan apapun demi dakwah Islam. Namun semangat ini seperti kurang sejalan dengan apa yang didapat sang kader. Dalam kondisi seperti ini ia merasa sangat tersiksa (atau menyiksa diri?) dengan terus menerus menganggap dirinya tidak berguna, tidak dianggap, tidak diberdayakan. Oke, cung-hand yang pernah begini *ngacung*


Kekecewaan Ibarat Angin Numpang Lewat

Kalau teman-teman yang kecewa seperti saya dulu mungkin tidak separah saya, dulu karena saking kecewanya saya berkesresi membabibuta ke kakak tingkat dua angkatan. saya menagih kerja mereka yang seharusnya mengader dan membina saya dan angkatan dengan baik, bukan ditelantarkan setelah dibina di awal tahun dan begitu mereka lulus kita ditinggalkan. Saya marah besar kepada mereka dan terus menggungat mereka tidak bertanggung jawab pada saya, saya diacuhkan, dan lain-lain.

Alkhamdhulillah entah kenapa perasaan sebal dan kecewa itu mendadak hilang begitu saja dengan banyaknya waktu yang saya gunakan bersama teman-teman. Komunikasi dan silaturahm bersama mereka juga sekarang sudah tidak buruk, kembali normal. Ternyata rasa sakit akan sendirinya hilang jika kita terus mengabaikannya lho asakan kita tidak fokus untuk memeliharanya. Jadi yang sekarang sedang sebal-sebal dengan teman sendiri atau kakak tingkat, mari lupakan prasangkamu!


Kejar Mobil Itu dengan Kereta!

Merasa tertinggal dengan wawasan rekan lain yang lebih aktif? Jika mereka berlari dengan mobil maka kita harus mengejarnya dengan kereta karena ini dalam rangka realisasi ‘fatsabiqul khoirot’. Mereka nongkrong di kampus untuk syuro, maka kita nongkrong di kampus untuk bersilahrurahim ke teman dan berdakwah fardiyah. Hidupkan sel-sel kepo dalam otak dengan mendekati orang-orang ‘hebat’ lalu ajak mereka berdiskusi!. Insya Allah semua informasi yang kita dapatkan akan selalu bermanfaat (kata suami saya).


Ambil Hikmah dari Kelonggaran Ini

Kadang mengejek itu ada baiknya juga, contohnya: kasihan banget si fulan/fulanah sibuk sana sini, syuro tiap menit, alkhamdhulillah ane bisa lebih fokus sama amanah, mengevaluasi konsep dan merapikan teknis (plak). Ambil hikmahnya saja dari setiap ketidakenakan. Jujur baru tadi sore saya mendapatkan jawaban fantastis dari suami mengenai fenomena macam ini.

“Memang amanah yang sekarang sudah baik dijalankan atau belum?” Deg! Rasanya kepala ini dipaksa mengingat hal-hal yang dulu saya campakan (karena masalah juga yang tak kalah pusing). Bisa jadi kita tidak dilibatkan dalam urusan tertentu karena memang Allah tengah member kesempatan pada kita untuk memperbaiki amanah kita sebelum dihisab (nangis karena nyesel).


Nganggur = Kesempatan Berkreasi

Dakwah itu dapat menyentuk semua hal, bidang, kegemaran, dll. Di tengah kefuturan saya alkhamdhulillah saya dipertemukan dg rekan-rekan #ITJ dan berbagai hal yang menginspirasi. Di tengah segala hal yang saya kira telah memberangus nama saya justru Allah mempertemukan saya dengan mereka semua yang ini membawa saya aktif kembali di dunia jurnalistik  (Insya Allah). Seandainya saya tetap diberi amanah segudang, disuruh mengonsep banyak hal, saya tidak akan sempat membuat banyak tulisan dan mengikuti berbagai kegiatan #ITJ. Justru merugi sekali untuk aktivis yang sudah diberi kelonggaran mencari pahala malah menyia-nyiakan dengan galau tidak jelas.


Ini Adalah Ujian Sebelum Pasca Kampus yang Menggiurkan

Sekali lagi, ini semua adalah hal yang telah saya alami. Secara drastis status saya berubah seketika setelah menikah, sudah tidak  ada (nyaris sama sekali) informasi yang masuk mengenai kondisi kampus. Kabar dari teman-teman saja saya tidak tahu. Satu sisi ini kesempatan saya untuk mengurusi rumah tangga, di sisi lain ini sangat menyiksa. Tiba-tiba amanah tidak jelas keberlanjutannya, bertanya tidak ada yang bisa memberikan kejelasan. Kalau dibandingkan saya rasa lebih mudah jika saya menjadi alumni yang normal (memang habis masa studi). Alkhamdhulillah masalah tidak bertahan lama karena saya sudah pernah mengalami kondisi ‘dianggurkan’ dan mengatasinya hanya satu: saya berusaha bagaimana diri ini aktif secara naluriah tanpa perlu komando dari siapapun, naluri sebagai AKTIVIS dakwah yang always on di mana pun. Jadilah wirausahawan dakwah, menciptakan wasilah sendiri karena negara ini perlu banyak wirausahawan dakwah, bukan hanya pegawai negeri yang hanya patuh pada komando.
Jika tidak mampu menyelesaikan ujian ‘dianggurkan’ bagaimana nanti ketika sudah alumni? Kondisi pasca kampus lebih mengerikan, kita harus proaktif karena inilah indikasi bahwa kita telah tarbiyah: mandiri, aktif!


Kamu Selalu Bermanfaat, Itulah Firman Allah

Jangan pernah sekalipun menganggap diri ini tidak berguna karena itu sama saja mengingkari firman Allah, ikhwahfillah. Allah mencipkan kita dalam sebaik-baiknya bentuk tanpa ketidakmanfaat. Bukan kita yang tidak bermanfaat, barangkali kita saja yang belum bisa menghargai apa yang telah Alah karuniakan sebagai kelebihan kita. Oleh karena itu semua potensi diri sebaiknya selalu diasah agar berguna bagi orang sekitar.


It’s the looooooongest post I made. Muahaha, always midnight blogging, right? Nope, just hope you’re able to take a lot of points of this. Maaf untuk segala salah kata dan bila tersinggung, saya hanya ingin enebar semangat positif dalam diri dan mulai bergerak (lagi)!

0 komentar:

Posting Komentar