Angin malam yang dingin menggigit
tengkuk membawa jari-jari makin gatal untuk menari di atas keyboard notebook yang sudah lama menemani perjalanan dakwah
seorang ikhwah. Modem terpasang dengan mantap, kecepatan optimum siap
mengantaran sang ikhwah ke dunia lain (baca: dunia maya). Sederet bookmark ia buka dan matanya terfokus
pada dua link yakni facebook dan twitter. Wow, sehari saja sudah banyak notifikasi yang masuk. Sang ikhwah
pun tenggelam dalam aktivitas maya selama berjam-jam.
Tiba-tiba dalam beranda facebook-nya
ia melihat temannya yang satu amanah dengannya meng-upload foto-foto bersama
(sepertinya) kelompok halaqa, terlihat riang walau dalam kondisi kotor pasca
bersih-bersih kampung banjir. Ikhwah tersebut tersenyum dan turut senang dalam
hati. Tak berapa lama kemudian ada seorang adik tingkatnya yang sedang
meng-update status, isinya tentang kegiatan dan perjuangan dakwah kampus untuk
menyemangati diri dan teman-teman yang lain. Sang ikhwah kembali tersenyum,
kali ini jari-jarinya mengetikkan sesuatu di kolom update status:
“Tolooong, ana dianggurin nih.” Entah
apa yang dipikirkan oleh ikhwan kita ini, dia terlihat sangat tersiksa dengan
kondisinya sekarang, berkali-kali ia menggalau di dinding facebook dan twitter,
mencurahkan apa yang tengah ia rasakan: ingin bekerja (dakwah), ingin tahu
banyak hal (sama halnya dengan rekannya yang lain), merasa tidak tahu apa-apa
dan diacuhkan.
Di luar itu ada seorang ikhwah
lain yang terus mengamati pola psikologis ikhwah tadi dan mengaitkan dari
berbagai sudut pandang. Akhirnya, ikhwah pengamat tersebut malah terkontaminasi
galau dan inilah karyanya. (heh!)
……………..
Oke, jangan gebukin saya. Itu tadi
ilustrasi gagal saja dari seorang ibu rumah tangga yang sedang galau besok mau
masak apa (plak). Jadi tema blogging
hari ini adalah ‘fenomena pengangguran dakwah’. Sebenarnya bukan karena siapa
atau kejadian apa, ini murni curhatan saya yang sedang labil pasca menikah, ada
banyak transformasi kegiatan mirip seperti yang dialami oleh beberapa teman
pasca kampus. Namun, setelah saya amati beberapa hari ternyata galau mengenai
beberapa kader yang masih ‘beramanah’. Well,
santai saja bro. Ssst… dengan status
aneh saya ini (mendadak alumni-karena menikah dengan alumni dan keluar secara
formal dari kampus) saya berharap dapat memberikan pandangan yang lebih
objektif.
Sebelum menulis celoteh ini saya
membaca dua buah artikel yang bernuansa sama yakni tentang pasca kampus. Satu artikel
berisi mengenai analisis pribadi tentang sebab terjadinya pengangguran dakwah,
artikel satu lagi justru berisi gugatan mengenai keluhan-keluhan kader pasca
kampus. Keduanya saling berhubungan, ya seperti ask-question-lah. Baiknya baca dulu ya manteman…
Pengangguran dakwah? Apa itu? Gampangnya
begini, pengangguran dakwah adalah suatu status galau yang dialami seorang
aktivis yang dulunya sangat aktif lalu mendadak jadi pasif karena tidak terlibat
(baik konsep maupun teknis) agenda dakwah atau
status yang tersemat pada seorang aktivis yang masih aktif namun seakan tidak
pernah mendapatkan amanah dan dia merasakan hal ini tengah ia rasakan.
Definisi pertama biasanya
disematkan untuk para alumni yang telah melewati fase kampus (biasa disebut
pasca kampus), sedangkan yang kedua ya untuk yang masih aktif tapi merasa tidak
dapat amanah dan kadang merasa sangat tertinggal dari rekan-rekannya yang lain
(yang cenderung lebih aktif untuk sekadar syuro atau nongkrong di kampus). Kondisi
saya pribadi sebenarnya lebih mewakili untuk membahas yang pertama (pasca
kampus) namun saya pun merasa lebih tertarik untuk sedikit berpendapat mengenai
hal kedua, masih aktif tapi pasif (?).
Bermula dari tulisan dan sekarang
saya komentari melalui tulisan agar letak kesalahan bisa lebih transparan untuk
dikoreksi. Bermula dari tulisan yang dipostingkan di social-media saya mendapati sinyal bahwa ada yang ‘tidak beres’ dan
kini akan coba saya tanggapi melalui tulisan pula (yang lebih panjang dan
memuaskan, he he he). Tidak beres? Dari mana tahunya? Dari kalimat menjurus ke
arah situ. Makanya hal-hal seperi harus segera ditabayunkan terlebih dulu
apakah memang sedang tidak nyaman dengan kondisi ‘dakwah’ atau memang sedang
membahas topik lain? Bisa berabe kalau si fulan menulis kalimat A tapi
ditanggapi B dan itu panjang lebar seakan memberi tausyiah. Well, ada dua
ketidak-ahsan-an. Pertama: menasihati tanpa tahu duduk perkara sebenarnya,
kedua: menasihati di depan umum (komentar facebook
yang dapat dibaca semua orang). Hikmah: jangan asal nyamber (saya mau tobat
rasanya dulu sedzalim ini).
Merasa dianggurkan?
Merasa tertinggal?
Merasa tidak digunakan?
Tiga hal ini pernah saya alami
semua, saya merasa punya banyak informasi dan keahlian yang dibutuhkan untuk
kepentingan dakwah, saya siap diperintah oleh pimpinan untuk melakukan apa
saja, kapan saja, tugas seberat apapun! Bahkan saya selalu menawarkan hal-hal
yang tidak pantas seperti menawarkan diri sebagai pemberi pertimbangan terhadap
suatu masalah. Tapi ternyata saya tidak direspon, jawaban yang saya terima
hanyalah jawaban-jawaban normatif yang tak kunjung saya dapatkan intinya. Hingga
beberapa minggu saya memilih untuk kesal pada orang-orang yang saya maksud. Di sisi
lain saya sangat iri kepada mereka yang begitu aktif mengerjakan dan ikut serta
dalam agenda dakwah, ke desa A, ke masjid B, ikut dauroh C, sedang syuro D. Kok saya tidak diajak sih????
Sehingga saya menyimpulkan bahwa
fenomena ‘tolooong, ana dianggurin’ sangat mudah dialami oleh kader yang tengah
berada di gunung semangat dan siap melakukan apapun demi dakwah Islam. Namun semangat
ini seperti kurang sejalan dengan apa yang didapat sang kader. Dalam kondisi
seperti ini ia merasa sangat tersiksa (atau menyiksa diri?) dengan terus
menerus menganggap dirinya tidak berguna, tidak dianggap, tidak diberdayakan. Oke,
cung-hand yang pernah begini *ngacung*
Kekecewaan Ibarat Angin Numpang Lewat
Kalau teman-teman yang kecewa
seperti saya dulu mungkin tidak separah saya, dulu karena saking kecewanya saya
berkesresi membabibuta ke kakak tingkat dua angkatan. saya menagih kerja mereka
yang seharusnya mengader dan membina saya dan angkatan dengan baik, bukan
ditelantarkan setelah dibina di awal tahun dan begitu mereka lulus kita
ditinggalkan. Saya marah besar kepada mereka dan terus menggungat mereka tidak
bertanggung jawab pada saya, saya diacuhkan, dan lain-lain.
Alkhamdhulillah entah kenapa perasaan
sebal dan kecewa itu mendadak hilang begitu saja dengan banyaknya waktu yang
saya gunakan bersama teman-teman. Komunikasi dan silaturahm bersama mereka juga
sekarang sudah tidak buruk, kembali normal. Ternyata rasa sakit akan sendirinya
hilang jika kita terus mengabaikannya lho asakan kita tidak fokus untuk
memeliharanya. Jadi yang sekarang sedang sebal-sebal dengan teman sendiri atau
kakak tingkat, mari lupakan prasangkamu!
Kejar Mobil Itu dengan Kereta!
Merasa tertinggal dengan wawasan
rekan lain yang lebih aktif? Jika mereka berlari dengan mobil maka kita harus
mengejarnya dengan kereta karena ini dalam rangka realisasi ‘fatsabiqul khoirot’.
Mereka nongkrong di kampus untuk syuro, maka kita nongkrong di kampus untuk
bersilahrurahim ke teman dan berdakwah fardiyah. Hidupkan sel-sel kepo dalam
otak dengan mendekati orang-orang ‘hebat’ lalu ajak mereka berdiskusi!. Insya
Allah semua informasi yang kita dapatkan akan selalu bermanfaat (kata suami
saya).
Ambil Hikmah dari Kelonggaran Ini
Kadang mengejek itu ada baiknya
juga, contohnya: kasihan banget si fulan/fulanah sibuk sana sini, syuro tiap
menit, alkhamdhulillah ane bisa lebih fokus sama amanah, mengevaluasi konsep
dan merapikan teknis (plak). Ambil hikmahnya saja dari setiap ketidakenakan. Jujur
baru tadi sore saya mendapatkan jawaban fantastis dari suami mengenai fenomena
macam ini.
“Memang amanah yang sekarang
sudah baik dijalankan atau belum?” Deg! Rasanya kepala ini dipaksa mengingat
hal-hal yang dulu saya campakan (karena masalah juga yang tak kalah pusing). Bisa
jadi kita tidak dilibatkan dalam urusan tertentu karena memang Allah tengah member
kesempatan pada kita untuk memperbaiki amanah kita sebelum dihisab (nangis
karena nyesel).
Nganggur = Kesempatan Berkreasi
Dakwah itu dapat menyentuk semua
hal, bidang, kegemaran, dll. Di tengah kefuturan saya alkhamdhulillah saya
dipertemukan dg rekan-rekan #ITJ dan berbagai hal yang menginspirasi. Di tengah
segala hal yang saya kira telah memberangus nama saya justru Allah
mempertemukan saya dengan mereka semua yang ini membawa saya aktif kembali di
dunia jurnalistik (Insya Allah). Seandainya
saya tetap diberi amanah segudang, disuruh mengonsep banyak hal, saya tidak
akan sempat membuat banyak tulisan dan mengikuti berbagai kegiatan #ITJ. Justru
merugi sekali untuk aktivis yang sudah diberi kelonggaran mencari pahala malah
menyia-nyiakan dengan galau tidak jelas.
Ini Adalah Ujian Sebelum Pasca Kampus yang Menggiurkan
Sekali lagi, ini semua adalah hal
yang telah saya alami. Secara drastis status saya berubah seketika setelah
menikah, sudah tidak ada (nyaris sama
sekali) informasi yang masuk mengenai kondisi kampus. Kabar dari teman-teman
saja saya tidak tahu. Satu sisi ini kesempatan saya untuk mengurusi rumah
tangga, di sisi lain ini sangat menyiksa. Tiba-tiba amanah tidak jelas
keberlanjutannya, bertanya tidak ada yang bisa memberikan kejelasan. Kalau dibandingkan
saya rasa lebih mudah jika saya menjadi alumni yang normal (memang habis masa
studi). Alkhamdhulillah masalah tidak bertahan lama karena saya sudah pernah
mengalami kondisi ‘dianggurkan’ dan mengatasinya hanya satu: saya berusaha
bagaimana diri ini aktif secara naluriah tanpa perlu komando dari siapapun,
naluri sebagai AKTIVIS dakwah yang always
on di mana pun. Jadilah wirausahawan dakwah, menciptakan wasilah sendiri
karena negara ini perlu banyak wirausahawan dakwah, bukan hanya pegawai negeri
yang hanya patuh pada komando.
Jika tidak mampu menyelesaikan
ujian ‘dianggurkan’ bagaimana nanti ketika sudah alumni? Kondisi pasca kampus
lebih mengerikan, kita harus proaktif karena inilah indikasi bahwa kita telah
tarbiyah: mandiri, aktif!
Kamu Selalu Bermanfaat, Itulah Firman Allah
Jangan pernah sekalipun
menganggap diri ini tidak berguna karena itu sama saja mengingkari firman
Allah, ikhwahfillah. Allah mencipkan kita dalam sebaik-baiknya bentuk tanpa ketidakmanfaat.
Bukan kita yang tidak bermanfaat, barangkali kita saja yang belum bisa
menghargai apa yang telah Alah karuniakan sebagai kelebihan kita. Oleh karena
itu semua potensi diri sebaiknya selalu diasah agar berguna bagi orang sekitar.
It’s the looooooongest post I made. Muahaha, always midnight blogging,
right? Nope, just hope you’re able to take a lot of points of this. Maaf untuk
segala salah kata dan bila tersinggung, saya hanya ingin enebar semangat
positif dalam diri dan mulai bergerak (lagi)!
0 komentar:
Posting Komentar