Kamis, 07 Maret 2013

Sehat Tanpa Obat? Insya Allah Bisa



It’s my midnight blogging, now I have the best way to spend my insomnia time. He he

Beberapa minggu yang lalu saya membaca sebuah artikel yang dikutip dari sebuah buku yang berjudul ‘Be Smart Patient’. Artikel tersebut ditulis oleh seorang ibu yang kebetulan juga seorang dokter muda Indonesia dan tinggal di Belanda bersama keluarganya. Beberapa kali anaknya sakit dan sekian kali tersebut dokter hanya mengatakan bahwa anaknya baik-baik saja, tanpa diberi obat atau vitamin. Karena hal itu terus menerus disarankan (padahal sakit anaknya sangat parah menurutnya) akhirnya ibu itu meminta penjelasan. Bahwa memang sudah sewajarnya anak mengalami sakit (demam dan gejala ringan lainnya), jadi penangannya juga sewajarnya saja (tanpa obat, cukup istirahat). Untuk artikel lengkap bisa baca di sini.


Artikel di atas benar-benar menggelitik untuk dikomentari karena mengingatkan saya tentang beberapa bacaan yang sempat terlupakan, salah satu di antaranya adalah The Art of Decision karya Jerry D Gray. Meskipun sebagian besar buku ini berisi tentang konspirasi USA (Yahudi) dan kekejamannya pada dunia ini namun pada bagian terakhir ada sebuah pembahasan yang sangat berkaitan dengan bidang kesehatan, seperti imunisasi, vaksin, dan agenda pembasmian manusia secara massal. Secara garis besar buku tersebut menjelaskan bahwa vaksin dan imunisasi merupakan alat pembunuh yang dibungkus sebagai ‘tameng’ penyakit, padahal dilihat dari bahan penyusunnya jauh dari tujuan itu. Penelitian pun menyebutkan bahwa sebelum ada vaksin polio jumlah tewas tiap tahun hanyalah 2000 jiwa, setelah ada vaksin ini jumlahnya menjadi 20.000 jiwa/tahun. Dengan kata lain justru vaksin dan imunisasi ini hanyalah memperlemah imun tubuh.

Waallahua’lam mengenai keshahihan informasi dalam buku mantan tentara AU USA itu, untuk amannya memang sebaiknya kita mulai dari sekarang benar-benar harus lebih jeli lagi sebagai pasien, jangan terlalu latah untuk meminta obat atau vaksin jika tidak terlalu dibutuhkan oleh tubuh. Sejak kecil saya sudah terbiasa mengonsumsi obat-obatan, mulai dari obat untuk penyakit dalam hingga penyakit ecek-ecek seperti demam dan batuk yang akhir-akhir ini saya ketahui bahwa ada banyak sekali reaksi dalam tubuh kita salah satunya batuk dan itu sangat wajar tanpa harus diobati. Sekarang ketika sudah berkeluarga, untuk itu saya kini menerapkan beberapa langkah agar tubuh kami sekeluarga tidak terkontaminasi banyak obat-obatan dan beberapa langkah penanggulangan jika sudah sakit.

Bismillah…
Menjaga Semua Asupan

Pada awal-awal pernikahan saya stres ringan karena kondisi tempat tinggal yang belum tetap, masih sering jajan untuk makan 3x sehari. Setelah tinggal di kontrakan pun beberapa alat masak tertinggal di kos, membuat saya harus mengisi lemari dengan stok makanan dan bahan masak instan yang aduhai jelas tidak sehat. Makan instan sangat kaya akan akan bahan sintesis yang jika dikonsumsi terlalu sering akan menyebabkan gangguan pada tubuh. Padahal sekarang ini banyak sekali bahan makan instan mulai dari bahan pokok hingga bumbu-bumbu. Bayangkan saja jika bahan pokoknya saja sudah mengandung bahan kimia ditambah menggunakan bumbu instan yang juga banyak bahan kimia (adiktif).

 Oleh karena itu selalu saya minta suami mengingatkan agar tak lupa memindahkan alat-alat masak ke kontrakan agar saya bisa mengurangi penggunaan bahan makanan instan. Alkhamdhulillah semua sekarang serba buat sendiri, sayuran segar dimasak dengan bumbu racikan dari rempah sendiri, lauk pauk pun diolah tanpa tersentuh bumbu-bumbu pabrik. Sungguh, mencegah penyakit lebih indah daripada mengobati.


Mengganti Stok Obat dengan Apotek Hidup

Kotak obat di kontrakan mungil kami hanya berisi beberapa obat luar seperti antiseptik, minyak angin, dan bedak gatal. Obat untuk pemakaian dalam hanya maag yang sudah sangat jarang diminum. Sebaliknya, rak rempah-rempah sekarang dipenuhi jahe, kunyit, lengkuas, dan lainnya. Bukan tanpa alasan mengurangi ketersediaan obat, sekali lagi ini dalam rangka menekan angka kemudhorotan dari bahan kimia yang kami konsumsi.

Saya dan suami dari kecil dibesarkan di lingkungan pedesaan yang kaya akan hasil alam, kebiasaan yang orang tua kami terapkan ternyata masih tersisa pada ingatan kami dan ini berguna. Seperti mengonsumsi air jahe hangat dan pijatan ringan di sekitar leher, ternyata lebih ampun meredakan pusing dan demam daripada harus meminum paracetamol .


Mengganti Vitamin dengan Madu

Ini program yang belum saya jalankan, keinginan memesan madu pada teman masih tertunda. Padahal sudah gemes gara-gara suami masih suka minum minuman isotonik dan vitamin c buatan pabrik. Saya yakin bahwa madu adalah obat dan penjaga kondisi tubuh terbaik. Penyajian madu juga beragam sesuai dengan keinginan. Ini yang membuat saya hingga kini tetap bersikeras menekan konsumsi suami akan vitamin-vitamin tersebut dan tengah mengumpulkan uang untuk membeli satu botol tanggung madu asli.





Tiga hal sedehana itulah yang saya istiqomahkan untuk menjaga kesehatan diri dan keluarga di luar berbagai saran Rasulullah (the best doctor ever). Sebenarnya kalau mau benar-benar sehat ya tidak perlu repot lho, bahkan tips dari saya ini tidak cukup hebat dari apa yang beliau pesankan untuk kesehatan kita yaitu madu dan Al Qur’an. Artinya sumber obat kita adalah madu dan segala tuntutan yang telah disyariatkan pada semua muslim di dunia ini seperti makan secukupnya, makan yang halal dan thoyib, dan sebagainya. Jadi, tetap mau jadi konsumen obat akut? He he. Khususnya kepada para ummahat saya menyeru agar lebih jenius lagi menjaga keluarga dengan mendekatkan diri kepada syariat Allah.

0 komentar:

Posting Komentar