Tidak pernah ada pertentangan
antara satu hadist dengan hadist lainnya. Demikian pula dengan firman Allah,
semua ayat dalam Al Quran saling berhubungan dan menyempurnakan arti. Yups…
tidak bertentangan. Tidaklah bertentangan tentang larangan marah dan anjuran
marah karena keduanya memiliki konteks yang sangat berbeda. Rasulullah SAW
melarang ummatnya marah sebagaimana diceritakan pada hadist Arba’in ke 16. Saat
itu seorang laki-laki datang pada Rasulullah untuk meminta nasihat dan
Rasulullah mengatakan “Jangan Marah”.
Abu Darda RA pernah menuturkan bahwa pernah ada seorang berkata kepada Nabi SAW, “Nasihatilah saya.” Rasulullah bersabda, “Jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya, Rasul SAW pun mengulang sabdanya, “Jangan marah!” (HR. Bukhari)
Sudah jelaslah, betapa
permasalahan akan timbul jika sudah marah. Diskusi, diplomasi, dan komunikasi
tidak akan berjalan efektif jika salah satu ada yang memulai kemarahan. Pantas saja
nasihat Rasulullah yang satu ini diulang sampai dua kali. Semua akan sepakat
bahwa marah tidaklah baik. Secara medis pun orang yang sering marah cenderung
lebih mudah terkena penyakit jantung.
Lalu bagaimana dengan hadist berikut ini?
Sesungguhnya Nabi SAW tidak pernah marah terhadap sesuatu. Namun, jika larangan-larangan Allah dilanggar, ketika itu tidak ada sesuatu pun yang menghalangi rasa marahnya. (HP. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain:
Tidaklah Rasulullah SAW dihadapkan pada dua pilihan melainkan beliau memilih yang paling mudah di antara keduanya selama tidak merupakan suatu dosa. Namun, bila sesuatu itu dosa, beliau adalah orang yang aling menjauh darinya. Tidaklah beliau membalas karena dirinya kecuali KEHORMATAN ALLAH SWT DILANGGAR maka beliau pun marah. (HR. Bukhari)
Rasulullah sangat menganjurkan
bagi kita untuk menahan marah sekuat mungkin jika hanya urusan dunia yang
menjadi sengketa, dihina, dilecehkan, dianiaya. Rasulullah tidak akan membalas
para kaum Quraisy yang meludahi maupun melemparinya dengan batu. Tetapi Rasulullah
pun akan sangat marah ketika Islam yang dihina, dilecehkan. Sebagaimana kisah
perang besar hanya disebabkan oleh Yahudi yang menarik hijab muslimah di zaman
itu. Ini bukanlah kemarahan karena duniawi melainkan kehormatan muslimah dan
Islam begitu berharga.
Saya tidak bisa membendung air
mata yang merembes dengan spontan saat ingat betapa kita sering kali
membolak-balikkan dua hal di atas. Kadang kita marah pada suatu hal duniawi begitu
besar padahal ketika simbol-simbol kekuasaan Allah dilecehkan kita menjadi
manusia berhati keras. Jangankan marah, simpati pun tidak.
Lalu bagaimana seharusnya kita
bersikap pada segolongan orang yang dengan ideologinya menghalangi para kader
dakwah untuk menebar kebaikan dan cinta Allah? Tidak bolehkan kita marah jika
dakwah Islam ini dibusuki lalu kita (dengan dalih jangan marah) membiarkan
begitu saja tanpa ada pembelaan dan penyadaran? Mereka berupaya dengan
sungguh-sungguh memecah persatuan muslim dan menghalangi sentuhan dakwah kepada
orang-orang yang sangat membutuhkan. Apakah saya harus diam?
Teriris hati saya ketika
mengetahui ternyata ada banyak sekali kebusukan yang terjadi di sekitar saya. Saya
ingin marah tapi seakan saya menjadi orang yang lebih hina daripada pembusuk
itu. Kata-kata saya dinilai sangat kasar dan menghujat, lebih rendah daripada
mereka yang dengan mudah menyakiti SAUDARA MUSLIM saya. Maka kenyataan yang
paling menyakitkan adalah mereka termasuk bagian dari Islam, mereka juga
muslim, lalu mengapa mereka begitu memusuhi dakwah?
Jika saja yang mereka inginkan
hanyalah kekuasaan atau kedudukan maka saya tidak akan marah, silakan saja
ambil dan saya akan membangun peradaban lain. Namun jika yang mereka inginkan
adalah kerusakan dakwah Islam maka saya akan marah. Astaghfirullah…
0 komentar:
Posting Komentar