Gas air mata, peluru karet hingga
peluru timah melayang dengan bebas di udara lalu memilih target tembak sesuka
empunya. Lagu-lagu pergerakan dan semangat kebangkitan mengisi lorong-lorong
organ penghasil suara. Derap langkah seribu dari lautan manusia bersatu arah
menuju musuh besar yang harus ditaklukkan bersama-sama. Saat itu yang
disuarakan, yang disebut, yang diserang, yang ingin dibabat habis, yang
dimusuhkan hanyalah satu, ialah diktator dari sebuah pemerintahan negari gemah
ripah loh jinawi, Orde Baru. Sebuah perjuangan ini begitu menguras tenaga dan
pikiran manusia-manusia saat itu, segala upaya demi terwujudnya Indonesia
sejahtera dilakukan. Berbagai gololongan meletakkan almamater mereka demi
persatuan atas nama bangsa. Toh Tuhan tetap berkehendak mengambil empat
hamba-Nya saat itu.
Lalu apakah para penggerak waktu
itu tidak menempuh jalan diplomasi atas permasalahan? Mengumpulkan banyak
manusia dengan kepala yang berisi pikiran berbeda, bagaimana caranya? Tidakkah saat
itu golongan-golongan membentuk faksi karena memiliki kepentingan lain? Adakah imalan
yang dijanjikan untuk bergerak waktu itu hingga Tuhan pun ridho memberikan
kemenangan sementara bagi Indonesia atas rezim Orde Baru.
Banyak sekali narasi-narasi
perjuangan mahasiswa mengambil tema runtuhnya Orde Baru. Mungkin karena
semangat yang menggelora waktu itu mampu menumpas segala perbedaan. Ini
pertanyaan besar, apakah hanya reformasi yang menjadi parameter keberhasilan
pergerakan mahasiswa? Apakah hanya dengan kudeta pemimpin maka mahasiswa telah
berhasil membangun negeri jika ternyata yang kita jumpai sekarang justru produk
gugatan tersebut malah menimbulkan petaka yang tak jauh berbeda dari Orde Baru.
Pasca reformasi, aktivis-aktivis yang saat itu terlibat mengaku jika mereka
gagal, mereka tidak mempersiapkan bagaimana setelah Orde Baru bubar, kini
kitalah yang menjadi penerus dan harus
kembali bergerilya. Perjuangan itu belum berakhir, negeri maritim dengan beribu
ikan dan terumbu karang masih tak mampu menyekolahkan anak-anak bangsa. Negeri ini
belum makmur jaya, maka perjuangan tetaplah berlanjut.
Ternyata perjuangan untuk
kehidupan yang lebih baik itu susah ya, darah muda-mudi belia harus tercecer di
jalanan beraspal panas. Tangan-tangan yang harusnya digunakan untuk membangun
bangsa dengan karya justru memar dan menyambut keringat yang mengucur dari
tubuh. Demi apa segala kesakitan ini rela dicecap? Dengan lantang seharusnya
mahasiswa sejati menjawab: Demi Tuhanku inilah perjuangan memakmurkan bangsa
dan negeri ini.
Selamat datang di zona masalah,
wahai mahasiswa. Engkau yang beranjak dewasa akan mengerti dan lihai memilih
pada perkara mana akan fokus. Engkau yang beranjak dewasa akan mengerti dan
lihai memilih dengan siapakah akan bersekutu, egois golongan atau persatuan. Andaikan
empat mahasiswa reformasi itu bangkit, malulah kita ketika belum mampu
menentukan dua pilihan di atas. Fokus pada golongan, merasa golongan paling
benar. Bukankah dulu para pembeda justru bersatu hingga memenuhi gedung
legislatif? Lalu tipe mahasiswa mana yang engkau tiru jika engkau tak mau
melapangkan dada menerima pendapat yang tak serupa denganmu. Engkau senang pada
perkara sederhana hingga tega menghujam tombak permusuhan pada golongan lain
demi kesenanganmu.
Semoga kedewasaan hadir dengan membonceng
segala masalah dalam perjuangan. Hidup mahasiswa!!!
0 komentar:
Posting Komentar