Jumat, 22 Maret 2013

Mahasiswa Ludruk



Gas air mata, peluru karet hingga peluru timah melayang dengan bebas di udara lalu memilih target tembak sesuka empunya. Lagu-lagu pergerakan dan semangat kebangkitan mengisi lorong-lorong organ penghasil suara. Derap langkah seribu dari lautan manusia bersatu arah menuju musuh besar yang harus ditaklukkan bersama-sama. Saat itu yang disuarakan, yang disebut, yang diserang, yang ingin dibabat habis, yang dimusuhkan hanyalah satu, ialah diktator dari sebuah pemerintahan negari gemah ripah loh jinawi, Orde Baru. Sebuah perjuangan ini begitu menguras tenaga dan pikiran manusia-manusia saat itu, segala upaya demi terwujudnya Indonesia sejahtera dilakukan. Berbagai gololongan meletakkan almamater mereka demi persatuan atas nama bangsa. Toh Tuhan tetap berkehendak mengambil empat hamba-Nya saat itu.



Lalu apakah para penggerak waktu itu tidak menempuh jalan diplomasi atas permasalahan? Mengumpulkan banyak manusia dengan kepala yang berisi pikiran berbeda, bagaimana caranya? Tidakkah saat itu golongan-golongan membentuk faksi karena memiliki kepentingan lain? Adakah imalan yang dijanjikan untuk bergerak waktu itu hingga Tuhan pun ridho memberikan kemenangan sementara bagi Indonesia atas rezim Orde Baru.  

Banyak sekali narasi-narasi perjuangan mahasiswa mengambil tema runtuhnya Orde Baru. Mungkin karena semangat yang menggelora waktu itu mampu menumpas segala perbedaan. Ini pertanyaan besar, apakah hanya reformasi yang menjadi parameter keberhasilan pergerakan mahasiswa? Apakah hanya dengan kudeta pemimpin maka mahasiswa telah berhasil membangun negeri jika ternyata yang kita jumpai sekarang justru produk gugatan tersebut malah menimbulkan petaka yang tak jauh berbeda dari Orde Baru. Pasca reformasi, aktivis-aktivis yang saat itu terlibat mengaku jika mereka gagal, mereka tidak mempersiapkan bagaimana setelah Orde Baru bubar, kini kitalah yang menjadi penerus  dan harus kembali bergerilya. Perjuangan itu belum berakhir, negeri maritim dengan beribu ikan dan terumbu karang masih tak mampu menyekolahkan anak-anak bangsa. Negeri ini belum makmur jaya, maka perjuangan tetaplah berlanjut.

Ternyata perjuangan untuk kehidupan yang lebih baik itu susah ya, darah muda-mudi belia harus tercecer di jalanan beraspal panas. Tangan-tangan yang harusnya digunakan untuk membangun bangsa dengan karya justru memar dan menyambut keringat yang mengucur dari tubuh. Demi apa segala kesakitan ini rela dicecap? Dengan lantang seharusnya mahasiswa sejati menjawab: Demi Tuhanku inilah perjuangan memakmurkan bangsa dan negeri ini.

Selamat datang di zona masalah, wahai mahasiswa. Engkau yang beranjak dewasa akan mengerti dan lihai memilih pada perkara mana akan fokus. Engkau yang beranjak dewasa akan mengerti dan lihai memilih dengan siapakah akan bersekutu, egois golongan atau persatuan. Andaikan empat mahasiswa reformasi itu bangkit, malulah kita ketika belum mampu menentukan dua pilihan di atas. Fokus pada golongan, merasa golongan paling benar. Bukankah dulu para pembeda justru bersatu hingga memenuhi gedung legislatif? Lalu tipe mahasiswa mana yang engkau tiru jika engkau tak mau melapangkan dada menerima pendapat yang tak serupa denganmu. Engkau senang pada perkara sederhana hingga tega menghujam tombak permusuhan pada golongan lain demi kesenanganmu.

Semoga kedewasaan hadir dengan membonceng segala masalah dalam perjuangan. Hidup mahasiswa!!!
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar