Rasulullah SAW dengan segala
kesempurnaan manusia yang ada pada diri beliau (juga izin Allah SWT)
memperjuangkan dakwah Islamiyah hingga kini buah dakwah itu telah mampu kita
rasakan. Bermula dari sebuah wahyu hingga terkumpul orang-orang (yang juga luar
biasa) pilihan Allah untuk bergabung menebarkan kebaikan hakiki. Rasulullah dan
orang-orang tersebut bukanlah sekumpulan manusia yang serupa, baik karakter,
status sosial, warna kulit, maupun harta, mereka berbeda. Akan tetapi satu hal
yang mereka junjung adalah sama, menegakkan tauhid di muka bumi.
Saya berpikir mengapa mereka bisa
begitu kuat dan bertahan padahal iming-iming harta, kekuasaan, dan cinta tak
pernah berhenti mematahkan setiap langkah perjuangan. Mengapa mereka tidak
memilih kehidupan yang lebih mudah meski kadang sakit hati menjadi penyanding
bagi mereka. kekecewaan yang mereka hadapi pun jauh lebih besar daripada
kekecewaan yang mungkin sering saya (dan kawan-kawan) rasakan. Bagaimana bisa
mereka tetap setia kepada seorang Muhammad padahal beliau tidak pernah
menjanjikan apapun.
Dalam setiap langkah kejenuhan
saya bertanya-tanya, masih adakah sosok Usman yang begitu sopan, Umar yang
tegas, Ali yang cerdas, Abu Bakar yang sangat dermawan, Ummu Salamah yang sabar
dan tak pernah menangis lemah, Musab bin Umair yang rela menyerahkan semua
urusan dunianya demi Allah. Sungguh mereka adalah manusia-manusia terbaik di
sisi Allah.
Banyak buku-buku yang menuliskan
keteguhan hati para sahabat dan sahabiyah dalam berdakwah. Pribadi yang sholeh
dengan cirri khas masing-masing terhimpun dalam satu ketaqwaan yang shahih. Selain
keyakinan yang besar terhadap Allah, mereka adalah orang-orang yang menyadari
benar tentang siapa dan apa tugas mereka masing-masing. Mereka tidak pernah
mengatakan ‘dakwah membutuhkan saya’, tetapi mereka meyakini bahwa sekecil
apapun mereka dalam dakwah ini mereka tetap bagian dari dakwah yang harus tetap
berjalan. Mereka yakin apabila kerusakan kecil yang tiap individu lakukan akan
berdampak besar pada dakwah. Seperti halnya kekalahan perang yang dipimpin oleh
Umar bin Khatab ra, seorang tentara tidak bersiwak. Sehingga manusia-manusia
terbaik itu tidak melakukan apapun selain terus berupaya memperbaiki diri,
berkhuznuzon terhadap saudara, pemimpin, dan hanya mengharap berkah dari Allah
SWT.
Mungkinkah itu sebabnya mengapa
saat ini seolah dakwah (kampus) tengah mengalami fase terajegnya. Ketika semua
permasalahan terus muncul bak bertunas baru di tengah lahan kampus yang
seharusnya kita siangi agar subur bila ditanam bibit-bibit kemuliaan Islam.
Astaghfirullahhal’adzim… berapa kali kita beristighfar akan satu
detik kelalaian.
Astaghfirullahhal’adzim… atas kemalasan sehingga kita lebih memilih
untuk mengobrol (kadang mengghibahi saudara dengan hal-hal asumtif) daripada
meluangkan waktu untuk membaca buku dan diskusi.
Astaghfirullahhal’adzim… atas keegoisan diri yang selalu menuntut
dipahami kepribadiannya tanpa mau memahami bahwa masih banyak hal yang harus
diselesaikan untuk dakwah ini
Astaghfirullahhal’adzim… atas segala prasangka yang membuat enggan
melaksanakan setiap ta’limat dakwah
Astaghfirullahhal’adzim… atas kesiasiaan yang telah dilakukan,
nonton film sampai larut malam, padahal jika digunakan untuk belajar ataupun
bersilahturahim akan jauh lebih baik
Astaghfirullahhal’adzim… atas penodaan terhadap dakwah, tidak patuh
jam akhwat sehingga mencoreng wajah dakwah dan muslimah sholehah lainnya
Astaghfirullahhal’adzim… atas kelalaian menasihati pemimpin dan
jundi sehingga sesak rasa di hati menimbulkan kerak-kerak hasad
Astaghfirullahhal’adzim… atas sikap yang seolah-olah menyalahkan
dakwah ketika nilai ujian jatuh, padahal bisa jadi karena apa-apa yang kita
kerjakan belum diberkahi oleh Allah
Astaghfirullahhal’adzim… atas komitmen dakwah yang tergadai demi
naluri dan hasrat sendiri
Astaghfirullahhal’adzim… atas prasangka bahwa kita tidak berguna,
apakah itu bentuk kerendahhatian ketika secara tidak langsung justru kita
menumbalkan saudara yang lain untuk berpikir lebih keras, lebih banyak, lebih
jauh, dan lebih tersakiti ketika dianggap ‘meninggalkan’ kita yang
terseok-seok.
Astaghfirullahhal’adzim… atas segala pembelaan diri
Astaghfirullahhal’adzim… atas kealpaan bahwa setiap keberhasilan
dan kegagalan dalam dakwah ini sudah menjadi kehendak Allah
Astaghfirullahhal’adzim… atas ketidaktawakalan
Seandainya kita semua (elemen
dakwah kampus) merasakan menjadi satu sekrup kecil dalam rangkaian mesin motor,
ketika satu cacat pada diri kita maka akan menyebabkan masalah pada mesin motor
tersebut. Itulah mengapa kita dituntut untuk selalu berupaya memperbaiki diri
dan hanya mengharap ridho Allah SWT. Kita kadang lupa bahwa apa yang kita
perjuangkan ini adalah untuk-Nya, bukan yang lain.
0 komentar:
Posting Komentar