“Ana nggak tahu menahu soal isu ini. Nggak ada yang ngasih tahu ana.”
“Ente ke mana aja, permasalahan begini nggak bisa di-share, harus
menyaksikan sendiri di facebook n situs beritanya.”
“Afwan, ana nggak sempat OL,” kata seorang akhwat kepada temannya. Saat
itu tengah ramai diperbincangkan mengenai suatu permasalahan yang menganjurkan
agar para aktivis dakwah untuk sesering mungkin mengecek pemberitaan di internet
Ada yang mengatakan kalau zaman
sekarang dunia hiburan seperti jamur. Kalau jamur ada yang beracun dan tidak
berbahaya, maka yang lebih banyak ya jamur beracun alias dunia hiburan lebih
banyak mendatangkan mudhorot daripada maslahat. Dunia hiburan yang lebih
disoroti tentu dari medianya, internet dan TV. Iseng-iseng browsing karena penasaran dengan dunia maya (sebab dan
tersangka menyebarnya virus alay anak muda—duh sedih). Alhamdhulillah dapat beberapa berita yang unik dan perlu menjadi
notifikasi untuk para aktivis dakwah.
Kejahatan pada media cyber
(maya) semakin banyak terjadi. Berbagai modus yang dilakukan oleh pelaku
kejahatan pada kecanggihan teknologi ini sulit untuk dihindari. Direktur
Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Sufyan Syarif mengatakan, sebanyak 925 kasus
kejahatan cyber crime (kejahatan pada dunia maya) terjadi
pada 2011. Menurut Sufyan, kejahatan di dunia maya melebihi tingkat
kriminalitas yang lain. Jika dibandingkan, jumlahnya bisa mencapai lima kali
lipatnya. (kompas.com)
Ingat juga sih tentang film
‘Republik Twitter’ yang menurut cerita teman-teman sinopsisnya tentang intrik
politik berisi kepentingan-kepentingan beberapa pihak yang menggunakan twitter
sebagai media pencitraan ataupun tempat isu-isu berawal, mengingat juga
pengguna twitter di Indonesia yang menduduki peringkat atas terbanyak. Saya
belum menonton film ‘Republik Twitter’ secara langsung, tetapi seperti
menyaksikan sendiri betapa akun-akun pejabat dan kritikus nasional saling
menyerang. Selain itu juga perang ideologi bahkan penistaan agama sering
bermula dari twitter.
Beberapa hari yang lalu ada teman
saya yang bernostalgia dengan zaman kami kecil dan membandingkan kecanggihan
teknologi sekarang. Zaman kami usia anak TK, tak jauh dari bola bekel dan
lompat tali mainan sekari-hari kami, atau mendandani truk (mainan dari nenek
saya!) seperti mendandani boneka barbie. Saat menengok kondisi anak TK
sekarang, luar biasa, pegangan mereka sudah tablet dan BB.
Lucu ya. Lucu ketika zaman sudah
berhasil diotak-atik musuh Islam. Lucu ketika kita saat ini malah sibuk
menyalahkan korban (si anak-anak unyu itu) karena mereka terdidik dengan cara
yang kurang tepat. Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk menghendaki kondisi
yang demikian? Menghack sumber server jejaring sosial? Menekan produsen smartphone yang kian mudah memasarkan
produknya? Menceramahi orang tua agar berhenti mengajarkan hal-hal yang tidak
baik untuk anak?
Maka saya akan balik bertanya,
apa yang bisa semut kecil seperti kita lakukan untuk mengalahkan raksasa media
dan kekuasaan uang untuk ramah terhadap kehidupan seperti dulu? Ingat, sains
itu dinamis dan semua orang menuntut adanya perkembangan zaman. Kita juga tidak
bisa serta merta meminta agar orang tua menyuruh anaknya tetap mempertahankan
ajaran konvensional seperti kita karena zaman sudah semakin modern. Intinya,
inilah zaman di mana ilmu dan rekayasa (sosial dan teknologi) bagaikan jamur di
musim hujan.
Pernah ada suatu kajian mengenai
arti kata mukjizat yaitu sebagai senjata, senjata untuk berdakwah. Secara
konstektual hal ini disampaikan melalui contoh dan studi kasus. Saat zaman Nabi
Musa hal yang paling disorot adalah sihir, maka Allah meberikan mukjizat
(senjata) berupa tongkat yang dapat berubah menjadi ular besar. Pada zaman Nabi
Isa yang sangat berkembang adalah ilmu kedokteran, maka mukjizat (senjata) yang
diberikan Allah berupa kemampuan menyembuhkan orang sakit. Karena pada zaman
Rasulullah sastra sangat berkembang, maka Al Quran yang menjadi senjata. Saya menyimpulkan
dengan pemahaman level kelas teri bahwa kondisi suatu zaman memang mengharuskan
adanya metode dakwah yang tepat. Kalau dipaksa untuk mengaitkan dengan kondisi
sekarang ya bisa jadi dakwah media adalah salah satu metode dakwah yang utama.
Pengorbanan adalah keniscayaan di
jalan ini, saya kira tidak akan sampai lupa persyaratan dakwah di jalan ini
yang sudah jelas ada tiga karakternya: jalannya terjal, panjang, dan sedikit
orangnya. Saat berbincang-bincang mengenai pengorbanan saya berpikir bahwa
inilah nikmatnya keluar dari zona aman dan nyaman. Adakah yang bertanya-tanya
mengapa pembahasan mengenai internet bisa sampai pengorbanan? He he he…
Kita sendiri pun menyadari bahwa
perbandingan antara pengguna internet di jalan yang baik dan benar kurang mampu
menandingi mereka yang menggunakannya untuk kedzaliman. Target dakwah pun lebih
banyak mengonsumsi hal-hal kurang bermanfaat dibanding tausyiah-tausyiah dari
para aktivis dakwah. Seperti kekuarangan masa dan dengan ini saya menarik
simpulan bahwa kebutuhan akan dakwah media membuat sosial media masuk dalam
kategori wasilah dakwah juga.
Terlihat mudah ya ‘dakwah media’
itu? Terlihat hanya cukup menebar tausyiah di setiap tulisan kita. Namun ternyata
jauh lebih dalam kita menyelami, banyak hal-hal yang seharusnya menampar pipi
kita satu per satu. Adapun dakwah itu sendiri tidak hanya menyeru berbuat baik,
termasuk pula mencegah kemungkaran. Yang kita tahu adalah kemungkaran di dunia
nyata dapat ditularkan melalui media.
Namun, sekecil apapun kontribusi
terhadap dakwah media saya pribadi sangat mengapresiasi teman-teman yang sudah
melakukan hal demikian. Kita bukan mereka yang canggih mengelola media berita
secara syar’i dan baik, kita bukan mereka yang mampu membuat berbagai situs
dakwah islamiyah, kita bukan mereka yang pandai meliput informasi dunia demi
keterbukaan permasalahan ke publik. Yang kita dapat lakukan adalah menggunakan
apa-apa yang tersedia dengan baik. Caranya hanya satu, baca! Baca segala
informasi yang telah ada, baca segala hal yang menimbulkan perkara dan
solusinya. Khusus untuk saat ini hal paling sederhana adalah menggunakan facebook dan twitter dengan sebaik-baiknya.
Permasalahan sekarang adalah
justru sebagian aktivis dakwah sudah merasa disibukkan dengan aktivitas
nyatanya sampai-sampai melupakan dua media itu. Mereka punya facebook dan
twitter tapi kalau boleh dipersonifikasikan dua akun tersebut seakan ditumbuhi
sarang laba-laba. Sekalipun ada yang aktif ‘bermain’, kebanyakan yang ada hanya
celoteh penuh keluh kesah, tidak ada bedanya dengan para mad’u.
Kita kan aktivis dakwah ya,
selalu membudayakan tabayun atau klarifikasi. Untuk masalah (eghem) sepele
seperti banyak sekali rukhsoh-nya, seperti tidak punya laptop, tidak ada modem,
fasilitas di handphone tidak memadai.
Ya itu semua tentu dimaklumi. Tapi kalau sengaja mencari rukhsoh dengan
mengatakan ‘Afwan, ana nggak sempat OL’
padahal semua fasilitas ada??? Apa yang membuat tidak sempat jika untuk hal
sesederhana online hanya perlu waktu 10 menit dan itu pun bisa sambil mengerjakan
hal lain? Ini bukan masalah online-nya, sekali lagi saya tegaskan bahwa begitu
banyak nilai-nilai urgensitas dakwah media jika kita peka terhadap dakwah. Kita
perlu pengorbanan, termasuk berkorban menggadai rasa malas dan enggan mencari
kebaikan.
Yah, sekali lagi saya katakan bahwa
apapun yang saya tuliskan ini hanya anjuran dari pemahaman kelas teri yang
berusaha naik level menjadi kelas ikan kembung (eh). Afwan jddan, qaqa…
0 komentar:
Posting Komentar