Akhir-akhir ini saya
serius memikirkan sebuah perpisahan. Berdiam di kamar mandi, berjalan di
trotoar, makan siang, juga ketika mau tidur. Perpisahan mempunyai radiksional
kata perpecahan, menghilang, tidak bersama lagi. Nuansa kesedihan juga
sebenarnya mendominasi dari kata ini, hanya saja kebanyakan orang malu untuk
jujur dan memilih untuk mengungkapkan bahwa perpisahan hanya sementara, jika
takdir maka akan jumpa lagi.
Saya kembali berpikir. Mengapa seolah-olah
semuanya seperti sedang menawar takdir Allah. Perpisahan itu kesedihan dan
manusia menawar luka itu dengan perpura-pura tegar namun di baliknya mereka
tengah bernegoisasi pada Allah, pertemukan kami kembali, kata mereka.
Perpisahan menurut saya
juga bisa melihat bagaimana seseorang kalah atau menang dari dirinya. Ada yang
tetap berani menatap sesuatu yang mereka pisahkan dari diri atau melihat sebuah
perpisahan. Ada juga yang memilih untuk apatis karena takut lukanya tersiram
garam dari air matanya yang merembes.
Ada yang pernah berkata
pada saya bahwa perpisahan ada untuk sebuah pertemuan, berpisah untuk menyatu,
mendengar untuk berbicara, tidur untuk bangun, mati untuk hidup kembali. Sesederhanakah
itu cara dia meringankan beban kesedihan ketika ia ditinggalkan orang-orang
yang ia cintai. Kamuflase yang sukses, menyelipkan duka di balik suka.
0 komentar:
Posting Komentar