(Persembahan Untuk Hari Solidaritas Jilbab Sedunia)
Satu
annya, ia
kemudian berdiri di antrian kasir untuk membayar. Setelah beberapa menit,
datanglah gilirannya untuk dilayani oleh kasir.
Di dekatnya, ada seorang Muslimah Arab yang tidak berjilbab, yang mulai melihat Muslimah bercadar itu dan memperhatikan satu persatu dari diri Muslimah itu, dan setelah beberapa saat memperhatikannya dengan pandangan arogan, Muslimah Arab itu mengatakan, “Kami memiliki banyak masalah di negara ini dan cadarmu adalah salah satunya!”
“Kami, para imigran, berada disini untuk perdagangan (bisnis) dan bukan menunjukkan Agama atau sejarah kami! Jika kau ingin mengamalkan Agamamu dan memakai cadar, maka kembalilah ke negeri Arab-mu dan lakukan apa saja yang kau inginkan!!” tambah imigran Arab itu.
Muslimah bercadar itu menaruh barang belanjaannya di tas dan kemudian membuka cadarnya di depan Muslimah Arab itu.
Sontak imigran Arab tersebut sangat terkejut. Muslimah bercadar yang dikira adalah seorang imigran Arab, ternyata ia gadis berkulit putih, bermata biru dan berambut pirang (nampaknya ia memperlihatkan sedikit rambutnya – menurut si penutur cerita), ia berkata kepada imigran Arab, “Aku adalah gadis Prancis, bukan imigran Arab. Ini adalah negeriku dan ini adalah ISLAM-KU!”
“Kalian lahir sebagai Muslim, kalian jual agama kalian dan kami membelinya dari kalian!” (muslimahzone.com)
Dua
Aliya baru saja mengunjungi stand milik saudara mahasiswa muslimnya di
festival unit kegiatan mahasiswa di kampus tempat ia kuliah. Kini ia
berjalan-jalan ke beberapa stand yang
ada tak jauh dari stand Association
Moslem Student. Akhirnya ia menemukan hal yang sangat menarik, seorang
wanita tak berjilbab tengah berorasi
dengan semangat membara. Wanita itu satu dan dikelilingi banyak orang, ada
mahasiswa, siswa SMA, bahkan dosen dan OB.
“Bisa-bisanya kasus asusila pada
perempuan dikarenakan penampilan??? Ada korban perkosaan yang balita, ada juga
nenek, bahkan berita terakhir menyebutkan korbannya memakai pakaian tertutup. Dalam
kasus yang marak terjadi di negara kita ini bukan disebabkan oleh ekspresi si
perempuan, tapi murni kejahatan dari kekuasaan laki-laki!...”
Oh, dia feminis rupanya, batin
Aliya. Dia pun lewat tanpa menggubris orator itu, sudah basi.
“Hei kamu yang jilbab biru dan kacamata!”
serunya pada Aliya. Aliya berbalik meyakinkan. “Iya kamu.”
Dengan santai Aliya memenuhi
panggilan si wanita orator.
“Lelucon apa yang sedang dibuat
oleh kaum pemuja patriakhi itu? Pendapat yang mengatakan bahwa kasus
pelecehan pada perempuan disebabkan oleh pakaian mereka adalah lelucon. Mereka hanya
menekan ekspresi kebebasan wanita dengan fatwa-fatwa konvensional mereka,
sehingga menjadi dalih bahwa semakin tertutup maka semakin aman. Padahal itu
hanya modus mereka agar kekuasaan dan penindasan terhadap hak-hak perempuan
bisa mereka pegang.”
“Stop!” Aliya membentak dan
sedikit melotot. Ditatapnya lekat-lekat orator itu dengan pandangan heran. “Tuduhanmu
itu tidak berlandaskan apapun.”
Merasa sedang ditantang, wanita
itu terlihat bersemangat. “Oh ya, jadi kamu tidak merasa bahwa apa yang sedang
kamu pakai ini simbol penguasaan dirimu oleh laki-laki golongan jenggot itu?”
“Pakaian ini, bukan simbol atas
kekuasaan muslim. Ini adalah perintah Tuhan kami, dan memakai ini adalah bentuk
ketaatan. Kalau kamu dan kawan-kawanmu itu menganggap ini sebagai kurungan atas
jati diri kewanitaan kami, itu sangat lucu.”
“Apa yang bisa dibebaskan dari jerat
kain seperti itu? Kalian ditaklukkan, ditindas dan tidak diberi kesempatan
berkarya.”
Aliya menarik napas panjang.
“Jelas kebebasan. Pakaian ini
membuat kami (para pemakainya) bebas dinilai dan dihargai dari sudut mana saja:
kemampuan kerja, kepribadian, karakter, kecerdasan.”
“Tapi kalian terlalu bodoh
sehingga tidak mampu menerka sendiri maksud laki-laki di sekitar kalian. Mereka
dengan pakaian seperti itu bahkan merampas hak kalian untuk tampil bebas.”
“Sepertinya kamu belum mengerti
maksud saya. Segala sisi bisa dilihat
dari dalam diri kami, bukan fisik seperti yang telah banyak ditawarkan pada
laki-laki pengusung antijilbab. Kami merasa diistimewakan, kami tidak lagi
dilihat sebagai onggokan daging pemuas nafsu, tapi mereka itu melihat kami
berdasarkan apa yang kami kuasai dan kami miliki sebagai sesuatu yang berharga.
Kami lebih dihargai sebagai seorang manusia.”
Feminis itu tampak belum puas. “Fashion? Kalian bahkan lebih memilih
mengikuti budaya Arab daripada hidup sosial di negara ini dengan pakaian yang
lebih mengarah ke kebhinekaan.”
“Inilah fashion kami. Oh ya, jilbab bukan budaya Arab karena Arab sebelum
ada Islam tidak berjilbab sama sekali. Jangan menumbalkan Indonesia sebagai
alasan. Negara ini adalah negara dengan toleransi terbaik, bahkan menghargai
jilbab seharusnya menjadi contoh atas bentuk toleransi itu jika kamu ingin
membicarakan nasionalisme dengan saya.”
Melihat semakin banyak orang
berkerumun, Aliya merasa tidak enak hati karena membuat keributan di sekitar
kampus. Lantas ia pergi dengan segera sementara rekan-rekan orator feminis tadi
sudah menghilang membawa poster-poster dan brosur antijilbab mereka.
Tiga
“Kamu lulusan Kimia Analisis dari
perguruan tinggi yang berakreditasi A?” tanya seorang manajer pada Aliya saat
wawancara kerja.
“Benar, Pak,” jawab Aliya
singkat.
Manajer itu seperti
membolak-balikkan CV Aliya, sedikit-sedkit memperhatikan penampilan Aliya yang
rapat tertutup kain dari atas sampai bawah.
“IPK kamu cukup baik, pengalaman
organisasi lumayan, ditambah seminar-seminar penunjang dan sertifikat. Saya bisa
menempatkan kamu di bagian penting perusahaan ini dengan gaji yang bagus untuk fresh graduate seperti kamu, tapi…”
“Tapi apa, Pak?”
“Perusahaan kami keberatan jika
mempekerjakan wanita dengan pakaian yang sangat repot seperti itu.”
Nyaris tersentak. Dalam hati
Aliya mengelus perasaannya yang hendak meluap. Ini pakaian syar’I dibilang
repot? Astaghfirullah…
“Maaf, maksudnya repot?” Aliya
ingin klarifikasi, siapa tahu anggapannya salah.
“Ya repot. Kamu kan mau bekerja
di laboratorium yang isinya instrument-instrumen berat, kalau terjadi apa-apa
karena pakaian kamu tersangkut bagaimana?”
“Bukannya ada APD ya? Jas lab pun
cukup melindungi jika saya hanya bekerja sebagai Quality Control Analyst.”
Manajer itu menggeleng. “Tetap
tidak bisa, terlalu berbahaya dan perusahaan ini tidak mau mengambil risiko
ganti kerugian.”
Aliya menarik napas. “Jadi solusi
yang Bapak tawarkan seperti apa?”
“Kamu bisa lihat di sini, tidak
ada wanita berjilbab, bahkan yang mengenakan rok pun tidak ada. Saya lihat kamu
sangat berpotensi, kalau tidak mau lepas jilbab kamu bisa menggulung jilbab
kamu dan pakai celana panjang.”
Alis Aliya naik sebelah, tidak
menyangka bahwa ia harus berakhir seperti ini.
“Kalau harus seperti itu lebih
baik saya membatalkan lamaran ini, Pak. Terima kasih, saya pamit.”
Baru saja hendak berdiri, si
manajer kembali bicara. “Lhoh, kamu kan sudah lulus semua tahap.”
“Tapi saya tidak mau jika harus
meninggalkan pakaian ini, Pak.”
“Saya tidak menyuruh kamu lepas
jilbab, hanya minta dipendekkan dan rok kamu diganti celana panjang. Di luar
sana pakaian itu lebih umum dan moderat kok.”
Aliya menggeleng lemah. “Tapi
saya punya keyakinan dan prinsip lain. Mohon maaf, ini adalah harga dri saya
jika Bapak ingin saya melepaskannya berarti Bapak telah merampas paksa hak
saya.”
“Ckckck…kamu ini aneh. Pekerjaan di
depan mata, gaji besar, perusahaan besar dan berpeluang dapat beasiswa
melanjutkan kuliah ke luar negeri. Eh, malah ditolak.”
Aliya tersenyum untuk terakhir
kali sebelum ia benar-benar berdiri. “Saya memang butuh uang, tapi saya yakin
kalau Tuhan saya yang akan memberi rezeki lewat jalan yang lain, dan bukan
perusahaan ini hidup saya harus berakhir. Terima kasih. Assalamu’alaykum.”
****
Ya Allah, puji syukur atas nikmat kesempatan-Mu yang mengizinkanku
tetap nyaman dan terjaga dengan jilbab ini.
Alhamdhulillah… tiada pernah
berhenti kenikmatan yang raga dan jiwa ini dapatkan dari Sang Pencipta.
Meskipun kita tinggal di negara yang sangat korup, kejahatan bermotif ekonomi
ada di mana-mana, maksiat tak pernah jauh dari tatapan, hingga kondisi
memprihatinkan dari kalangan pemuda bangsa ini, ada hal besar yang patut kita
jadikan sebagai alasan untuk tetap dan terus bersyukur: kita masih diberikan
kesempatan untuk berjilbab dengan nyaman dan aman (wahai muslimah).
Kenyamanan dan rasa aman ini
tidak luput dari akibat perjuangan ibu-ibu dan ustadzah-ustadzah tempo dulu
yang memperjuangkan agar jilbab diperbolehkan berkibar di bumi pertiwi
Indonesia. Mungkin saat ini kita tidak sempat melihat perjuangan mereka
menentang rezim revolusi jilbab, namun apa yang mereka lakukan insya Allah
membuahkan hasil. Kita sekarang bebas berhijab, sekolah, kuliah, bekerja, dan
lain-lain.
Beberapa waktu lalu terdapat
berita dari Filiphina, Turki, dan Prancis yang melarang pada muslimah mengenakan
jilbab dengan alasan yang sangat tidak logis. Kabar ini pun menggemparkan dunia
Islam dan segera mendapat kecaman atas tindakan yang melecehkan hak asasi
muslimah. Bentuk pelarangan itu biasanya dimulai dari sekolahan,
sisiwi-siswinya diwajibkan mengenakan pakaian wajib dan dilarang menambah
aksesori seperti jilbab. Tentu saja aktivis Islam tidak tinggal diam. Serangan berupa
kritikan via media massa pun digencarkan.
Gugatan-gugatan terhadap jilbab
di Indonesia sendiri sudah sering terjadi bahkan setelah adanya deklarasi perizinan
jilbab di tingkat nasional. Kasusnya pun hampir serupa dengan yang terjadi di
luar negeri, dari pihak sekolah melarang siswi-siswinya berjilbab karena
dianggap merusak keseragaman. Selain dari sekolah, ada juga aktivis feminis
yang dengan terang-terangan mengampanyekan ‘rok mini’ dan menolak penggunaan
jilbab (padahal di antara mereka ada yang muslimah). Mereka menganggap jilbab
adalah bentuk kurungan yang diberikan laki-laki Islam konvensional agar hak-hak
muslimah bisa bebas didapat: bebas berpakaian, bebas berekspresi, bebas
segalanya dan sama derajatnya dengan laki-laki. Selain itu, banyak juga gugatan
jilbab yang datang saat seorang muslimah hendak bekerja.
Sebenarnya apa yang diceritakan
di awal tulisan ini adalah sebagian kecil dari fakta mengenai kebebasan
berjilbab. Ada banyak penindasan kemanusiaan dan perenggutan hak-hak berislam
yang terjadi di Indonesia bahkan dunia. Pertanyaannya, di manakah pasal-pasal
atau isi deklarasi mengenai HAM yang selalu digembor-gemborkan saat Indonesia
kedatangan Lady Gaga dan Irshad Manji? Ke manakah bunyi-bunyi pembelaan
terhadap penindasan yang selama ini tak pernah absen dari liputan media. Begitu
kasus pelarangan jilbab tidak pernah sekalipun diberitakan secara heboh dan
simpatik.
Seharusnya tidak ada lagi hujat
dan gugat serta pelarangan dalam bentuk apapun jika kita bicara tentang Hak
Asasi Manusia karena dasar ketentuan dari deklarasi tersebut adalah terjaminnya
hak-hak asasi tiap manusia. Mengenakan jilbab selain merupakan kewajiban
muslimah terhadap Allah, mengenakan jilbab juga merupakan hak tiap muslimah
terhadap manusia lainnya. Aspek kebebasan beribadah menurut agama yang dianut
memayungi pendapat ini.
Sebut saja biang keladi atas
gugatan ini datang dari para kaum feminis yang menyusung kebebasan wanita dalam
hidup dan bermasyarakat. Mereka heboh luar biasa ketika kasus asusila yang
terjadi pada perempuan penumpang angkot disinyalir karena busana yang terbuka. Mereka
tidak setuju karena menyalahkan busana berarti menyalahkan ekspresi dan
tindakan kebebasan perempuan. Sehingga mereka mengalihkan kasus terhadap
pemikiran bahwa jilbab (pakaian tertutup) hanyalah akal-akalan sekelompok
laki-laki untuk memenjarakan kebebasan perempuan. Aksi nyata kaum feminis ini dilancarkan
dalam bentuk kampanye penggunaan rok mini dengan dalih ‘kebebasan berekspresi’.
Mereka bergerak untuk membela perempuan yang ‘ditindas’. Sebisa mungkin mereka
akan berupaya agar hak perempuan dapat terpenuhi.
Anehnya ketika terjadi kasus-kasus
pelecehan jilbab seperti kisah ketiga, tidak ada satupun aksi simpatik yang
digencarkan kaum feminis. Padahal kondisi pelecehan jilbab tersebut sangat
jelas dan memang benar-benar ada.
“Lepas jilbabmu, kalau tidak kamu
tidak saya terima kerja di sini.”
“Tidak usah ditutupi begitu, buat
apa kami mempekerjakan perempuan kalau tidak dilihat?”
“Coba pakai celana atau rok mini
saja. Kalau tidak mau saya pecat.”
Itulah pelecehan yang
sesungguhnya, tapi mana suara aungan kebebasan yang mereka serukan? Sangat dinantikan
mereka kaum pembela perempuan bertindak atas perenggutan hak sebagian muslimah
di dunia ini.
Makna Kebebasan Yang DIberikan Jilbab
Jika kaum feminis itu terkesan
gaguk dalam mengartikan ‘kebebasan’ (liberty),
maka inilah makna kebebasan yang ditawarkan oleh lembaran kain penutup aurat
tersebut.
Banyak di antara kita pun
terkecoh saat menjawab pertanyaan, “bagaimana kamu bisa bebas jika
terus-terusan dibungkus begitu?” jawaban yang paling ampuh untuk itu adalah
jawaban uraian dan pengandaian seperti dalih kebebasan dari pandangan yang
mengedepankan nafsu.
Mengenakan jilbab memang tertutup
dari pandangan, namun justru inilah kunci kebebasan yang dimaksud. Dengan tertutupnya
akses mata terhadap tubuh maka penilaian atas diri muslimah akan lebih
objektif. Seorang wanita berjilbab tidak lagi dilihat secara fisik (putih kulit
atau besar kecilnya betis). Seorang wanita berjibab akan dinilai dari apa yang
ada dalam kepala mereka. Penghargaan terhadap ilmu, kemampuan, kepribadian,
gaya hidup,dan karakter mereka akan ternilai lebih orisinil karena tidak
terganggu oleh keindahan tubuh mereka. mereka bebas dinilai dan penilaianya pun
bebas melakukan observasi.
Dewasa ini, bukan lagi rahasia jika
banyak wanita dipekerjakan hanya untuk hidangan para laki-laki pekerja. Mereka diterima
bekerja bukan dilihat dari transkrip IP atau CV, asalkan tubuh bagus maka
diterima. Perlakuan seperti ini bukanlah prestasi, karena bakat dan kemampuan
si wanita tersebut tidak dilihat sama sekali, hidupnya dinilai sebatas onggokan
daging. Berbeda dengan wanita yang memang menjaga dirinya dari pandangan yang
haram. Orang-orang akan menilai dari apa-apa yang tidak Nampak seperti
kecerdasan dan kinerja yang lebih professional, tanpa eksploitasi tubuh. Jelas ini
lebih bebas daripada sekadar mengobral tubuh.
Oleh karena itu, banggalah kawan
atas jilbabmu yang terulur itu, telah menjadikanmu manusia yang bernilai di
mata dunia.
Memaknai Hari Solidaritas Jilbab Sedunia
Akan sangat merugi jika kehadiran
momen besar ini hanya kita jadikan sebagai sarana in memoriam ketika dulu mulai berjilbab. Sangat boleh kita
berbangga atas hidayah yang Allah berikan ini, namun tidakkah tergugah hati
kita semua ketika kita menyaksikan sendiri bagaimana jilbab-jilbab ini digugat
dari luar sana? Ada banyak hal yang bisa kita lakukan agar makna ‘solidaritas’
ini dirasakan oleh muslimah sedunia. Inilah hari yang mengajak kita melangkah
bersama untuk menghentikan gugatan-gugatan terhadap jilbab yang datang dari
luar maupun dari dalam (keraguan mengenakan dan menyempurnakan).
Momen ini seharusnya bukan
pembatas (melakukan gerakan hanya di tanggal 4 September), akan tetapi sebuah
pengingat bahwa masih banyak muslimah di luar kehidupan kita yang teraniaya
karena kebebasan berjilbabnya dirampas.
Langkah sederhana saja dari saat
ini: yang belum mengenakan ayo kenakan jilbabmu, yang sudah mari rapikan
kembali (sudahkan memenuhi standar syar’i?), yang sudah rapi segera tengok
kondisi sekitar kita siapa yang hak berjilbabnya tengah dirampas.
Allah Yang Mahabenar. Khilaf dalam
berpendapat atas kesalahan diri. Semoga dengan adanya momen kebersamaan ini
kita semakin sadar bahwa berjilbab adalah satu-satunya cara Allah memuliakan
muslimah tanpa terhalang waktu, kondisi, dan tempat. Berjilbab bukan hanya
kewajiban atas tiap muslimah terhadap Allah, namun juga hak utama atas muslimah
terhadap seluruh manusia. Jangan biarkan siapapun merenggut jilbabmu, tidak
suamimu, tidak bosmu, tidak nafsumu, tidak yang lain.
0 komentar:
Posting Komentar