Rabu, 05 September 2012

Ketika Jilbabku Digugat


(Persembahan Untuk Hari Solidaritas Jilbab Sedunia)


Satu
Suatu hari, di Prancis, seseorang bercerita bahwa seorang Muslimah bercadar pergi ke Supermarket. Setelah ia mengambil barang-barang kebutuhannya, ia kemudian berdiri di antrian kasir untuk membayar. Setelah beberapa menit, datanglah gilirannya untuk dilayani oleh kasir.


Di dekatnya, ada seorang Muslimah Arab yang tidak berjilbab, yang mulai melihat Muslimah bercadar itu dan memperhatikan satu persatu dari diri Muslimah itu, dan setelah beberapa saat memperhatikannya dengan pandangan arogan, Muslimah Arab itu mengatakan, “Kami memiliki banyak masalah di negara ini dan cadarmu adalah salah satunya!”


“Kami, para imigran, berada disini untuk perdagangan (bisnis) dan bukan menunjukkan Agama atau sejarah kami! Jika kau ingin mengamalkan Agamamu dan memakai cadar, maka kembalilah ke negeri Arab-mu dan lakukan apa saja yang kau inginkan!!” tambah imigran Arab itu.


Muslimah bercadar itu menaruh barang belanjaannya di tas dan kemudian membuka cadarnya di depan Muslimah Arab itu.

Sontak imigran Arab tersebut sangat terkejut. Muslimah bercadar yang dikira adalah seorang imigran Arab, ternyata ia gadis berkulit putih, bermata biru dan berambut pirang (nampaknya ia memperlihatkan sedikit rambutnya – menurut si penutur cerita), ia berkata kepada imigran Arab, “Aku adalah gadis Prancis, bukan imigran Arab. Ini adalah negeriku dan ini adalah ISLAM-KU!”


“Kalian lahir sebagai Muslim, kalian jual agama kalian dan kami membelinya dari kalian!” (muslimahzone.com)


Dua

Aliya baru saja mengunjungi stand milik saudara mahasiswa muslimnya di festival unit kegiatan mahasiswa di kampus tempat ia kuliah. Kini ia berjalan-jalan ke beberapa stand yang ada tak jauh dari stand Association Moslem Student. Akhirnya ia menemukan hal yang sangat menarik, seorang wanita tak berjilbab  tengah berorasi dengan semangat membara. Wanita itu satu dan dikelilingi banyak orang, ada mahasiswa, siswa SMA, bahkan dosen dan OB.

“Bisa-bisanya kasus asusila pada perempuan dikarenakan penampilan??? Ada korban perkosaan yang balita, ada juga nenek, bahkan berita terakhir menyebutkan korbannya memakai pakaian tertutup. Dalam kasus yang marak terjadi di negara kita ini bukan disebabkan oleh ekspresi si perempuan, tapi murni kejahatan dari kekuasaan laki-laki!...”

Oh, dia feminis rupanya, batin Aliya. Dia pun lewat tanpa menggubris orator itu, sudah basi.

“Hei kamu yang jilbab biru dan kacamata!” serunya pada Aliya. Aliya berbalik meyakinkan. “Iya kamu.”

Dengan santai Aliya memenuhi panggilan si wanita orator.

“Lelucon apa yang sedang dibuat oleh kaum pemuja patriakhi itu? Pendapat yang mengatakan bahwa kasus pelecehan pada perempuan disebabkan oleh pakaian mereka adalah lelucon. Mereka hanya menekan ekspresi kebebasan wanita dengan fatwa-fatwa konvensional mereka, sehingga menjadi dalih bahwa semakin tertutup maka semakin aman. Padahal itu hanya modus mereka agar kekuasaan dan penindasan terhadap hak-hak perempuan bisa mereka pegang.”

“Stop!” Aliya membentak dan sedikit melotot. Ditatapnya lekat-lekat orator itu dengan pandangan heran. “Tuduhanmu itu tidak berlandaskan apapun.”

Merasa sedang ditantang, wanita itu terlihat bersemangat. “Oh ya, jadi kamu tidak merasa bahwa apa yang sedang kamu pakai ini simbol penguasaan dirimu oleh laki-laki golongan jenggot itu?”

“Pakaian ini, bukan simbol atas kekuasaan muslim. Ini adalah perintah Tuhan kami, dan memakai ini adalah bentuk ketaatan. Kalau kamu dan kawan-kawanmu itu menganggap ini sebagai kurungan atas jati diri kewanitaan kami, itu sangat lucu.”

“Apa yang bisa dibebaskan dari jerat kain seperti itu? Kalian ditaklukkan, ditindas dan tidak diberi kesempatan berkarya.”

Aliya menarik napas panjang.

“Jelas kebebasan. Pakaian ini membuat kami (para pemakainya) bebas dinilai dan dihargai dari sudut mana saja: kemampuan kerja, kepribadian, karakter, kecerdasan.”

“Tapi kalian terlalu bodoh sehingga tidak mampu menerka sendiri maksud laki-laki di sekitar kalian. Mereka dengan pakaian seperti itu bahkan merampas hak kalian untuk tampil bebas.”

“Sepertinya kamu belum mengerti maksud saya.  Segala sisi bisa dilihat dari dalam diri kami, bukan fisik seperti yang telah banyak ditawarkan pada laki-laki pengusung antijilbab. Kami merasa diistimewakan, kami tidak lagi dilihat sebagai onggokan daging pemuas nafsu, tapi mereka itu melihat kami berdasarkan apa yang kami kuasai dan kami miliki sebagai sesuatu yang berharga. Kami lebih dihargai sebagai seorang manusia.”

Feminis itu tampak belum puas. “Fashion? Kalian bahkan lebih memilih mengikuti budaya Arab daripada hidup sosial di negara ini dengan pakaian yang lebih mengarah ke kebhinekaan.”

“Inilah fashion kami. Oh ya, jilbab bukan budaya Arab karena Arab sebelum ada Islam tidak berjilbab sama sekali. Jangan menumbalkan Indonesia sebagai alasan. Negara ini adalah negara dengan toleransi terbaik, bahkan menghargai jilbab seharusnya menjadi contoh atas bentuk toleransi itu jika kamu ingin membicarakan nasionalisme dengan saya.”

Melihat semakin banyak orang berkerumun, Aliya merasa tidak enak hati karena membuat keributan di sekitar kampus. Lantas ia pergi dengan segera sementara rekan-rekan orator feminis tadi sudah menghilang membawa poster-poster dan brosur antijilbab mereka.


Tiga

“Kamu lulusan Kimia Analisis dari perguruan tinggi yang berakreditasi A?” tanya seorang manajer pada Aliya saat wawancara kerja.

“Benar, Pak,” jawab Aliya singkat.

Manajer itu seperti membolak-balikkan CV Aliya, sedikit-sedkit memperhatikan penampilan Aliya yang rapat tertutup kain dari atas sampai bawah.

“IPK kamu cukup baik, pengalaman organisasi lumayan, ditambah seminar-seminar penunjang dan sertifikat. Saya bisa menempatkan kamu di bagian penting perusahaan ini dengan gaji yang bagus untuk fresh graduate seperti kamu, tapi…”

“Tapi apa, Pak?”

“Perusahaan kami keberatan jika mempekerjakan wanita dengan pakaian yang sangat repot seperti itu.”

Nyaris tersentak. Dalam hati Aliya mengelus perasaannya yang hendak meluap. Ini pakaian syar’I dibilang repot? Astaghfirullah…

“Maaf, maksudnya repot?” Aliya ingin klarifikasi, siapa tahu anggapannya salah.

“Ya repot. Kamu kan mau bekerja di laboratorium yang isinya instrument-instrumen berat, kalau terjadi apa-apa karena pakaian kamu tersangkut bagaimana?”

“Bukannya ada APD ya? Jas lab pun cukup melindungi jika saya hanya bekerja sebagai Quality Control Analyst.”

Manajer itu menggeleng. “Tetap tidak bisa, terlalu berbahaya dan perusahaan ini tidak mau mengambil risiko ganti kerugian.”

Aliya menarik napas. “Jadi solusi yang Bapak tawarkan seperti apa?”

“Kamu bisa lihat di sini, tidak ada wanita berjilbab, bahkan yang mengenakan rok pun tidak ada. Saya lihat kamu sangat berpotensi, kalau tidak mau lepas jilbab kamu bisa menggulung jilbab kamu dan pakai celana panjang.”

Alis Aliya naik sebelah, tidak menyangka bahwa ia harus berakhir seperti ini.

“Kalau harus seperti itu lebih baik saya membatalkan lamaran ini, Pak. Terima kasih, saya pamit.”

Baru saja hendak berdiri, si manajer kembali bicara. “Lhoh, kamu kan sudah lulus semua tahap.”

“Tapi saya tidak mau jika harus meninggalkan pakaian ini, Pak.”

“Saya tidak menyuruh kamu lepas jilbab, hanya minta dipendekkan dan rok kamu diganti celana panjang. Di luar sana pakaian itu lebih umum dan moderat kok.”

Aliya menggeleng lemah. “Tapi saya punya keyakinan dan prinsip lain. Mohon maaf, ini adalah harga dri saya jika Bapak ingin saya melepaskannya berarti Bapak telah merampas paksa hak saya.”

“Ckckck…kamu ini aneh. Pekerjaan di depan mata, gaji besar, perusahaan besar dan berpeluang dapat beasiswa melanjutkan kuliah ke luar negeri. Eh, malah ditolak.”

Aliya tersenyum untuk terakhir kali sebelum ia benar-benar berdiri. “Saya memang butuh uang, tapi saya yakin kalau Tuhan saya yang akan memberi rezeki lewat jalan yang lain, dan bukan perusahaan ini hidup saya harus berakhir. Terima kasih. Assalamu’alaykum.”


****

Ya Allah, puji syukur atas nikmat kesempatan-Mu yang mengizinkanku tetap nyaman dan terjaga dengan jilbab ini.

Alhamdhulillah… tiada pernah berhenti kenikmatan yang raga dan jiwa ini dapatkan dari Sang Pencipta. Meskipun kita tinggal di negara yang sangat korup, kejahatan bermotif ekonomi ada di mana-mana, maksiat tak pernah jauh dari tatapan, hingga kondisi memprihatinkan dari kalangan pemuda bangsa ini, ada hal besar yang patut kita jadikan sebagai alasan untuk tetap dan terus bersyukur: kita masih diberikan kesempatan untuk berjilbab dengan nyaman dan aman (wahai muslimah).

Kenyamanan dan rasa aman ini tidak luput dari akibat perjuangan ibu-ibu dan ustadzah-ustadzah tempo dulu yang memperjuangkan agar jilbab diperbolehkan berkibar di bumi pertiwi Indonesia. Mungkin saat ini kita tidak sempat melihat perjuangan mereka menentang rezim revolusi jilbab, namun apa yang mereka lakukan insya Allah membuahkan hasil. Kita sekarang bebas berhijab, sekolah, kuliah, bekerja, dan lain-lain.


Gugatan Terhadap Jilbab

Beberapa waktu lalu terdapat berita dari Filiphina, Turki, dan Prancis yang melarang pada muslimah mengenakan jilbab dengan alasan yang sangat tidak logis. Kabar ini pun menggemparkan dunia Islam dan segera mendapat kecaman atas tindakan yang melecehkan hak asasi muslimah. Bentuk pelarangan itu biasanya dimulai dari sekolahan, sisiwi-siswinya diwajibkan mengenakan pakaian wajib dan dilarang menambah aksesori seperti jilbab. Tentu saja aktivis Islam tidak tinggal diam. Serangan berupa kritikan via media massa pun digencarkan.

Gugatan-gugatan terhadap jilbab di Indonesia sendiri sudah sering terjadi bahkan setelah adanya deklarasi perizinan jilbab di tingkat nasional. Kasusnya pun hampir serupa dengan yang terjadi di luar negeri, dari pihak sekolah melarang siswi-siswinya berjilbab karena dianggap merusak keseragaman. Selain dari sekolah, ada juga aktivis feminis yang dengan terang-terangan mengampanyekan ‘rok mini’ dan menolak penggunaan jilbab (padahal di antara mereka ada yang muslimah). Mereka menganggap jilbab adalah bentuk kurungan yang diberikan laki-laki Islam konvensional agar hak-hak muslimah bisa bebas didapat: bebas berpakaian, bebas berekspresi, bebas segalanya dan sama derajatnya dengan laki-laki. Selain itu, banyak juga gugatan jilbab yang datang saat seorang muslimah hendak bekerja.

Sebenarnya apa yang diceritakan di awal tulisan ini adalah sebagian kecil dari fakta mengenai kebebasan berjilbab. Ada banyak penindasan kemanusiaan dan perenggutan hak-hak berislam yang terjadi di Indonesia bahkan dunia. Pertanyaannya, di manakah pasal-pasal atau isi deklarasi mengenai HAM yang selalu digembor-gemborkan saat Indonesia kedatangan Lady Gaga dan Irshad Manji? Ke manakah bunyi-bunyi pembelaan terhadap penindasan yang selama ini tak pernah absen dari liputan media. Begitu kasus pelarangan jilbab tidak pernah sekalipun diberitakan secara heboh dan simpatik.

Seharusnya tidak ada lagi hujat dan gugat serta pelarangan dalam bentuk apapun jika kita bicara tentang Hak Asasi Manusia karena dasar ketentuan dari deklarasi tersebut adalah terjaminnya hak-hak asasi tiap manusia. Mengenakan jilbab selain merupakan kewajiban muslimah terhadap Allah, mengenakan jilbab juga merupakan hak tiap muslimah terhadap manusia lainnya. Aspek kebebasan beribadah menurut agama yang dianut memayungi pendapat ini.

Sebut saja biang keladi atas gugatan ini datang dari para kaum feminis yang menyusung kebebasan wanita dalam hidup dan bermasyarakat. Mereka heboh luar biasa ketika kasus asusila yang terjadi pada perempuan penumpang angkot disinyalir karena busana yang terbuka. Mereka tidak setuju karena menyalahkan busana berarti menyalahkan ekspresi dan tindakan kebebasan perempuan. Sehingga mereka mengalihkan kasus terhadap pemikiran bahwa jilbab (pakaian tertutup) hanyalah akal-akalan sekelompok laki-laki untuk memenjarakan kebebasan perempuan. Aksi nyata kaum feminis ini dilancarkan dalam bentuk kampanye penggunaan rok mini dengan dalih ‘kebebasan berekspresi’. Mereka bergerak untuk membela perempuan yang ‘ditindas’. Sebisa mungkin mereka akan berupaya agar hak perempuan dapat terpenuhi.

Anehnya ketika terjadi kasus-kasus pelecehan jilbab seperti kisah ketiga, tidak ada satupun aksi simpatik yang digencarkan kaum feminis. Padahal kondisi pelecehan jilbab tersebut sangat jelas dan memang benar-benar ada.

“Lepas jilbabmu, kalau tidak kamu tidak saya terima kerja di sini.”
“Tidak usah ditutupi begitu, buat apa kami mempekerjakan perempuan kalau tidak dilihat?”
“Coba pakai celana atau rok mini saja. Kalau tidak mau saya pecat.”

Itulah pelecehan yang sesungguhnya, tapi mana suara aungan kebebasan yang mereka serukan? Sangat dinantikan mereka kaum pembela perempuan bertindak atas perenggutan hak sebagian muslimah di dunia ini.


Makna Kebebasan Yang DIberikan Jilbab

Jika kaum feminis itu terkesan gaguk dalam mengartikan ‘kebebasan’ (liberty), maka inilah makna kebebasan yang ditawarkan oleh lembaran kain penutup aurat tersebut.

Banyak di antara kita pun terkecoh saat menjawab pertanyaan, “bagaimana kamu bisa bebas jika terus-terusan dibungkus begitu?” jawaban yang paling ampuh untuk itu adalah jawaban uraian dan pengandaian seperti dalih kebebasan dari pandangan yang mengedepankan nafsu.

Mengenakan jilbab memang tertutup dari pandangan, namun justru inilah kunci kebebasan yang dimaksud. Dengan tertutupnya akses mata terhadap tubuh maka penilaian atas diri muslimah akan lebih objektif. Seorang wanita berjilbab tidak lagi dilihat secara fisik (putih kulit atau besar kecilnya betis). Seorang wanita berjibab akan dinilai dari apa yang ada dalam kepala mereka. Penghargaan terhadap ilmu, kemampuan, kepribadian, gaya hidup,dan karakter mereka akan ternilai lebih orisinil karena tidak terganggu oleh keindahan tubuh mereka. mereka bebas dinilai dan penilaianya pun bebas melakukan observasi.

Dewasa ini, bukan lagi rahasia jika banyak wanita dipekerjakan hanya untuk hidangan para laki-laki pekerja. Mereka diterima bekerja bukan dilihat dari transkrip IP atau CV, asalkan tubuh bagus maka diterima. Perlakuan seperti ini bukanlah prestasi, karena bakat dan kemampuan si wanita tersebut tidak dilihat sama sekali, hidupnya dinilai sebatas onggokan daging. Berbeda dengan wanita yang memang menjaga dirinya dari pandangan yang haram. Orang-orang akan menilai dari apa-apa yang tidak Nampak seperti kecerdasan dan kinerja yang lebih professional, tanpa eksploitasi tubuh. Jelas ini lebih bebas daripada sekadar mengobral tubuh.

Oleh karena itu, banggalah kawan atas jilbabmu yang terulur itu, telah menjadikanmu manusia yang bernilai di mata dunia.


Memaknai Hari Solidaritas Jilbab Sedunia

Akan sangat merugi jika kehadiran momen besar ini hanya kita jadikan sebagai sarana in memoriam ketika dulu mulai berjilbab. Sangat boleh kita berbangga atas hidayah yang Allah berikan ini, namun tidakkah tergugah hati kita semua ketika kita menyaksikan sendiri bagaimana jilbab-jilbab ini digugat dari luar sana? Ada banyak hal yang bisa kita lakukan agar makna ‘solidaritas’ ini dirasakan oleh muslimah sedunia. Inilah hari yang mengajak kita melangkah bersama untuk menghentikan gugatan-gugatan terhadap jilbab yang datang dari luar maupun dari dalam (keraguan mengenakan dan menyempurnakan).

Momen ini seharusnya bukan pembatas (melakukan gerakan hanya di tanggal 4 September), akan tetapi sebuah pengingat bahwa masih banyak muslimah di luar kehidupan kita yang teraniaya karena kebebasan berjilbabnya dirampas.

Langkah sederhana saja dari saat ini: yang belum mengenakan ayo kenakan jilbabmu, yang sudah mari rapikan kembali (sudahkan memenuhi standar syar’i?), yang sudah rapi segera tengok kondisi sekitar kita siapa yang hak berjilbabnya tengah dirampas.

Allah Yang Mahabenar. Khilaf dalam berpendapat atas kesalahan diri. Semoga dengan adanya momen kebersamaan ini kita semakin sadar bahwa berjilbab adalah satu-satunya cara Allah memuliakan muslimah tanpa terhalang waktu, kondisi, dan tempat. Berjilbab bukan hanya kewajiban atas tiap muslimah terhadap Allah, namun juga hak utama atas muslimah terhadap seluruh manusia. Jangan biarkan siapapun merenggut jilbabmu, tidak suamimu, tidak bosmu, tidak nafsumu, tidak yang lain.

 

0 komentar:

Posting Komentar