Minggu, 05 Agustus 2012

Di Titik Terendah Allah Menguji Kita



Alhamdhulillah, di sisa-sisa helaan lelah hari ini masih saja Allah mencurahkan karunia dan kenikmatan luar biasa sehingga masih ada semangat untuk menuliskan beberapa patah kalimat ini, semoga bisa menjadi salah satu jalan mendekatkan kita semua pada Sang Kholiq. Aamiin.


Siapa sih manusia yang bebas dari ujian hidup, apalagi ia seorang muslim yang beriman kepada Allah. Tidaklah sebuah komitmen tetap bertahan tanpa ada ujian yang menyertai bukan? Di dunia ini, di negara ini, di kota ini, di kampus ini, kehidupan dan dakwah kita tidak akan jauh dari ujian sebagaimana yang telah Allah sampaikan pada nabi dan rosul sebelumnya. Hari ini pun saya belajar banak mengenai makna dari sebuah ujian hidup mealui berbagai kisah yang di dalamnya bukan hanya berisi kesedihan, namun juga amarah.

Hari ini saya seolah dihadapkan pada kenyataan yang dulu sempat saya hadapi, tentang bagaimana seorang gadis melankolis dan emosional yang kesulitan bersosialisasi lalu kehilangan keyakinan mendapatkan sahabat yang sesungguhnya. Karena egosentris yang membabibuta kala itu, saya menjadi orang yang anti dengan nasihat. Puncak masalahnya terjadi tepat di hari ulang tahun saya yang ke 17. Saat itu saya diserang oleh orang-orang yang saya anggap musuh karena sikap acuh dan main belakang, saya tidak bisa membalas kritik dan nasihat yang mereka ucapkan pada saya sehingga saya hanya bisa menangis.

Kejadian masa lalu seakan-akan berputar lagi hari ini, namun yang mengalami adalah orang-orang di sekitar. Salah satu sahabat mengalami gejolak psikologis yang luar biasa, sifatnya yang keras dan tertutup membuat beberapa orang di sekitar merasa dia yang bermasalah dan saya menjadi saksi bagaimana dia diperbincangkan. Di saat yang lain sepakat bahwa dia yang salah dengan memiliki sifat demikian, saya justru berempati pada karakterya yang mencerminan saya tiga tahun lalu. Sekejap menerawang, inilah ujian yang sedang sahabat saya jalani, akankah ia mampu menguasai diri dengan karakter itu atau justru berputus asa untuk tetap bertahan dan menyelesaikan masalah.

Ada lagi cerita mengenai seorang sahabat yang menderita karena masalah hati, tentang pengkhianatan dan mudahnya menjual komitmen yang telah diucapkan. Sahabat saya yang sudah terlanjur terjerat hatinya oleh seseorang yang salah merasa semakin terpuruk ketika menerima kenyataan bahwa orang tersebut telah menemukan sosok baru pasca penolakan yang sahabat saya lontarkan beberapa minggu yang lalu.

Yang terakhir datang dari diri saya sendiri, tentang ayah yang seakan menjadi halangan besar dalam berdakwah.

Bapak orangnya selalu berorientasi pada uang, buatnya ukuran keberhasilan atau kesuksesan itu ya berapa gaji yang kita dapat dari bekerja. Urusannya dengan dakwah ini lebih kompleks, dari masuk kuliah sampai satu semester awal beliau sudah menghitung berapa biaya yang dikeluarkan olehnya. Yah, memang wajar sih, keluarga kami bukan keluarga dengan deposito berpangkal M. Tapi saya merasa tertekan dengan itu, saya merasa karya untuk dakwah ini terhambat. Karena bagi saya, hanya dengan jihad harta, jiwa-raga ini dapat dipersembahkan.

Impian, pekerjaan, dan tuntutan. Entah kenapa kata-kata itu punya makna kontradiktif. Impian tak sejalan dengan tuntutan hidup yang nantinya akan membawa saya pada pekerjaan yang tak sesuai dengan apa yang saya inginkan. Jika semuanya harus dipersembahkan untuk dakwah, maka untuk tuntutan ini saya merasa curang. Saya –secara tidak langsung—dipaksa mencari uang sebanyak-banyaknya agar bisa melunasi apa-apa yang sudah bapak keluarkan, di sisi lain saya tidak mau kehabisan waktu dengan mencari uang lalu lupa akan impian untuk terus berkarya.

Bagaimana dakwah menghubungkan antara kewajiban sebagai anak dengan kewajiban sebagai muslim yang berperang membela agama ini? Bagaimana cara agar kita tidak berpikir parsial antara menunaikan status kita sebagai seorang anak dengan peran sebagai mujahid di medan jihad? Banyak di antara kita yang masih buta tentang dua hal yang sebenarnya satu masalah.

Problema yang sering dihadapi mereka yang berkecimpung di perladangan Islami adalah tekanan dari pihak keluarga, seperti: ayah, ibu, istri atau anak, dan lain-lain, juga datang dari diri pribadi seperti keangkuhan, dendam, dengki, dll. Sedikit sekali yang dapat lepas dari problematika tersebut sehingga totalitas dakwah pun dapat terhambat.

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan “kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar & sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Q29.2-3)

Macam-macam, bervariasi, tiap orang pasti memiliki permasalahan yang unik. Tidak bisa saya menyamakan ujian saya dengan ujian enam orang sahabat yang lain pasti sama. Tidak. Di kelompok halaqah saya ada yang diuji dengan keluarga, prinsip hidup, sahabat, tata hidup, hati, bahkan termasuk giroh berdakwah. Apakah kita bisa menjamin dari semua kelompok halaqah mampu mengatasi masalah manajemen? Hati? Tidak ada.

Mungkin saya mampu dengan masalah manajerial hidup, namun dari dulu saya belum bisa menyelesaikan permasalahan profesionalisme dakwah, ya saya akan diuji dengan masalah-masalah yang belum dapat saya tuntaskan. Namun yang paling dipahami adalah bahwa Allah mengui seseorang di titik terendahnya. Contoh, (lagi-lagi) mungkin saya mampu menyelesaikan masalah orang tua yang ingin tahu kegiatan sang anak dan sangat protektif, namun ketika disidak kondisi kost dan pekerjaan dia di lembaga formal hasilnya berantakan. Maka Allah akan terus menguji saya tentang masalah kerapian.

Saya sering menemui beberapa sahabat akhwat yang karakternya keras mengomel di depan saya ketika ada seorang ikhwan atau akhwat yang permasalahannya tidak jauh-jauh dari hati dan cinta monyet. Kerap kali saya tertawa melihat sahabat saya itu seperti nafsu memakan tiang besi karena terlalu jengkel.

“Nggak ada masalah lain apa selain cinta?” gerutunya tiap kali itu dibahas.

Kembali menerawang, ya memang tidak ada masalah lain yang siap ia hadapi selain urusan cinta jika yang bersangkutan belum lulus ujjian itu. Sewaktu-waktu ujian akan terus datang sampai Allah benar-benar meridhoi bahwa fulan/fulanah sudah terjaga dan tidak ‘sakit’ lagi. Namun saya senang dengan alternatif penyebuhan yang lebih menohok dari sahabat saya yang keras tersebut.

“Ente ngapain lagi mikirin masalah begituan? Urusan ummat masih banyak noh yang belum kelar.”

Yah, itu memang tamparan andalan para aktivis dakwah sih (TAKBIR!!!). Apakah kita rela urusan ummat terbengkalai hanya karena kita terlalu menghayati ujian dari Allah padahal itu untuk sebuah keimanan? Sejatinya, ujian, tekanan, gejolak jiwa, semua itu akan tetap sama dari waktu-waktu jika kita memang belum bisa lulus dan mengambil banyak hikmah dari sana dan itulah titik terendah kita. Terbukti ketika saya selalu diuji dengan masalah hubungan ayah-anak karena memang saya belum bisa menguasai segala emosi ketika berinteraksi dengan bapak.

Apa yang harus kita lakukan? Ya selesaikan dengan sabar. Tidakkah kita yakin di balik kesulitan selalu ada kemudahan? Dan setelah kita selesai dengan masalah satu maka kita harus beranjak ke penyelesaian masalah berikutnya. (Al Insyiroh)

Tetap semangat kawan, jangan sampai belenggu ujian kekal memenjarakan kesempurnaan penciptaan kita dengan begitu mudah. Tetap bersabar dan jangan pernah menanyakan keberadaan Allah saat kita berat menjalani cobaan. Ingat dua hal:
Pertama, Allah selalu ada sehingga tidak pantas kita mencari-cari untuk menuntut.
Kedua, bukankah Guru selalu diam ketika murid-Nya tengah diuji?


Waallahu’alam…




Categories: ,

1 komentar:

  1. Masya Allah... Taffakuran yang menyeluruh... terima kasih, jadi bahan untuk terus menggali pesan Allah yang tersurat ataupun yang tersirat...

    BalasHapus