Alhamdhulillah, di sisa-sisa helaan
lelah hari ini masih saja Allah mencurahkan karunia dan kenikmatan luar biasa
sehingga masih ada semangat untuk menuliskan beberapa patah kalimat ini, semoga
bisa menjadi salah satu jalan mendekatkan kita semua pada Sang Kholiq. Aamiin.
Siapa sih manusia yang bebas dari
ujian hidup, apalagi ia seorang muslim yang beriman kepada Allah. Tidaklah sebuah
komitmen tetap bertahan tanpa ada ujian yang menyertai bukan? Di dunia ini, di negara
ini, di kota ini, di kampus ini, kehidupan dan dakwah kita tidak akan jauh dari
ujian sebagaimana yang telah Allah sampaikan pada nabi dan rosul sebelumnya. Hari
ini pun saya belajar banak mengenai makna dari sebuah ujian hidup mealui
berbagai kisah yang di dalamnya bukan hanya berisi kesedihan, namun juga
amarah.
Hari ini saya seolah dihadapkan pada
kenyataan yang dulu sempat saya hadapi, tentang bagaimana seorang gadis
melankolis dan emosional yang kesulitan bersosialisasi lalu kehilangan
keyakinan mendapatkan sahabat yang sesungguhnya. Karena egosentris yang
membabibuta kala itu, saya menjadi orang yang anti dengan nasihat. Puncak masalahnya
terjadi tepat di hari ulang tahun saya yang ke 17. Saat itu saya diserang oleh
orang-orang yang saya anggap musuh karena sikap acuh dan main belakang, saya
tidak bisa membalas kritik dan nasihat yang mereka ucapkan pada saya sehingga
saya hanya bisa menangis.
Kejadian masa lalu seakan-akan
berputar lagi hari ini, namun yang mengalami adalah orang-orang di sekitar. Salah
satu sahabat mengalami gejolak psikologis yang luar biasa, sifatnya yang keras
dan tertutup membuat beberapa orang di sekitar merasa dia yang bermasalah dan
saya menjadi saksi bagaimana dia diperbincangkan. Di saat yang lain sepakat
bahwa dia yang salah dengan memiliki sifat demikian, saya justru berempati pada
karakterya yang mencerminan saya tiga tahun lalu. Sekejap menerawang, inilah
ujian yang sedang sahabat saya jalani, akankah ia mampu menguasai diri dengan karakter
itu atau justru berputus asa untuk tetap bertahan dan menyelesaikan masalah.
Ada lagi cerita mengenai seorang
sahabat yang menderita karena masalah hati, tentang pengkhianatan dan mudahnya
menjual komitmen yang telah diucapkan. Sahabat saya yang sudah terlanjur
terjerat hatinya oleh seseorang yang salah merasa semakin terpuruk ketika menerima
kenyataan bahwa orang tersebut telah menemukan sosok baru pasca penolakan yang
sahabat saya lontarkan beberapa minggu yang lalu.
Yang terakhir datang dari diri saya
sendiri, tentang ayah yang seakan menjadi halangan besar dalam berdakwah.
Bapak orangnya selalu berorientasi
pada uang, buatnya ukuran keberhasilan atau kesuksesan itu ya berapa gaji yang
kita dapat dari bekerja. Urusannya dengan dakwah ini lebih kompleks, dari masuk
kuliah sampai satu semester awal beliau sudah menghitung berapa biaya yang
dikeluarkan olehnya. Yah, memang wajar sih, keluarga kami bukan keluarga dengan
deposito berpangkal M. Tapi saya merasa tertekan dengan itu, saya merasa karya
untuk dakwah ini terhambat. Karena bagi saya, hanya dengan jihad harta,
jiwa-raga ini dapat dipersembahkan.
Impian, pekerjaan, dan tuntutan. Entah
kenapa kata-kata itu punya makna kontradiktif. Impian tak sejalan dengan
tuntutan hidup yang nantinya akan membawa saya pada pekerjaan yang tak sesuai
dengan apa yang saya inginkan. Jika semuanya harus dipersembahkan untuk dakwah,
maka untuk tuntutan ini saya merasa curang. Saya –secara tidak langsung—dipaksa
mencari uang sebanyak-banyaknya agar bisa melunasi apa-apa yang sudah bapak
keluarkan, di sisi lain saya tidak mau kehabisan waktu dengan mencari uang lalu
lupa akan impian untuk terus berkarya.
Bagaimana dakwah menghubungkan antara
kewajiban sebagai anak dengan kewajiban sebagai muslim yang berperang membela
agama ini? Bagaimana cara agar kita tidak berpikir parsial antara menunaikan
status kita sebagai seorang anak dengan peran sebagai mujahid di medan jihad?
Banyak di antara kita yang masih buta tentang dua hal yang sebenarnya satu
masalah.
Problema
yang sering dihadapi mereka yang berkecimpung di perladangan Islami adalah
tekanan dari pihak keluarga, seperti: ayah, ibu, istri atau anak, dan lain-lain,
juga datang dari diri pribadi seperti keangkuhan, dendam, dengki, dll. Sedikit
sekali yang dapat lepas dari problematika tersebut sehingga totalitas dakwah
pun dapat terhambat.
“Apakah manusia itu mengira bahwa
mereka dibiarkan (saja) mengatakan “kami
telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami
telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah
mengetahui orang-orang yang benar & sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang
yang dusta.” (Q29.2-3)
Macam-macam, bervariasi, tiap orang
pasti memiliki permasalahan yang unik. Tidak bisa saya menyamakan ujian saya
dengan ujian enam orang sahabat yang lain pasti sama. Tidak. Di kelompok
halaqah saya ada yang diuji dengan keluarga, prinsip hidup, sahabat, tata
hidup, hati, bahkan termasuk giroh berdakwah. Apakah kita bisa menjamin dari
semua kelompok halaqah mampu mengatasi masalah manajemen? Hati? Tidak ada.
Mungkin saya mampu dengan masalah
manajerial hidup, namun dari dulu saya belum bisa menyelesaikan permasalahan
profesionalisme dakwah, ya saya akan diuji dengan masalah-masalah yang belum
dapat saya tuntaskan. Namun yang paling dipahami adalah bahwa Allah mengui
seseorang di titik terendahnya. Contoh, (lagi-lagi) mungkin saya mampu menyelesaikan
masalah orang tua yang ingin tahu kegiatan sang anak dan sangat protektif,
namun ketika disidak kondisi kost dan pekerjaan dia di lembaga formal hasilnya
berantakan. Maka Allah akan terus menguji saya tentang masalah kerapian.
Saya sering menemui beberapa sahabat
akhwat yang karakternya keras mengomel di depan saya ketika ada seorang ikhwan
atau akhwat yang permasalahannya tidak jauh-jauh dari hati dan cinta monyet. Kerap
kali saya tertawa melihat sahabat saya itu seperti nafsu memakan tiang besi
karena terlalu jengkel.
“Nggak ada masalah lain apa selain
cinta?” gerutunya tiap kali itu dibahas.
Kembali menerawang, ya memang tidak
ada masalah lain yang siap ia hadapi selain urusan cinta jika yang bersangkutan
belum lulus ujjian itu. Sewaktu-waktu ujian akan terus datang sampai Allah
benar-benar meridhoi bahwa fulan/fulanah sudah terjaga dan tidak ‘sakit’ lagi. Namun
saya senang dengan alternatif penyebuhan yang lebih menohok dari sahabat saya
yang keras tersebut.
“Ente ngapain lagi mikirin masalah
begituan? Urusan ummat masih banyak noh yang belum kelar.”
Yah, itu memang tamparan andalan para
aktivis dakwah sih (TAKBIR!!!). Apakah kita rela urusan ummat terbengkalai hanya
karena kita terlalu menghayati ujian dari Allah padahal itu untuk sebuah
keimanan? Sejatinya, ujian, tekanan, gejolak jiwa, semua itu akan tetap sama
dari waktu-waktu jika kita memang belum bisa lulus dan mengambil banyak hikmah
dari sana dan itulah titik terendah kita. Terbukti ketika saya selalu diuji
dengan masalah hubungan ayah-anak karena memang saya belum bisa menguasai
segala emosi ketika berinteraksi dengan bapak.
Apa yang harus kita lakukan? Ya selesaikan
dengan sabar. Tidakkah kita yakin di balik kesulitan selalu ada kemudahan? Dan setelah
kita selesai dengan masalah satu maka kita harus beranjak ke penyelesaian
masalah berikutnya. (Al Insyiroh)
Tetap semangat kawan, jangan sampai
belenggu ujian kekal memenjarakan kesempurnaan penciptaan kita dengan begitu
mudah. Tetap bersabar dan jangan pernah menanyakan keberadaan Allah saat kita
berat menjalani cobaan. Ingat dua hal:
Pertama, Allah
selalu ada sehingga tidak pantas kita mencari-cari untuk menuntut.
Kedua, bukankah
Guru selalu diam ketika murid-Nya tengah diuji?
Waallahu’alam…
Masya Allah... Taffakuran yang menyeluruh... terima kasih, jadi bahan untuk terus menggali pesan Allah yang tersurat ataupun yang tersirat...
BalasHapus