Minggu, 05 Agustus 2012

Mimpi Untuk Kampusku (1)



Dulu, saya pernah berangan-angan menuntut ilmu di tempat yang memiliki banyak kegiatan kemahasiswaan. Saya bermimpi melalui buku-buku fiksi yang saya baca mulai dari SMP hingga SMA. Saya ingin aktif di berbagai organisasi, bidang jurnalistik , keagamaan, keilmuan, kepecintaalaman, hingga olahraga. Ada semangat tersendiri yang ada di dalam jiwa ini begitu menuntaskan satu buku dan beranjak ke buku lain. Euphoria mimpi itulah yang membawa saya untuk memiliki target besar: jika kuliah saya harus AKTIF. Artinya, saya harus memasuki berbagai UKM untuk menuntaskan keinginan saya tersebut.


Lulus SMP saya masuk ke SMA dengan membawa semangat mimpi-mimpi di atas. Oleh karena itu saya aktif di ekstrakurikuler jurnalistik dan sempat ingin menjadi anggota klub olahraga di sana. Saya juga tertarik dengan OSIS, namun kesempatan justru memilih saya untuk menjadi ketua di klub bahasa Inggris. Meskipun kenyataan yang saya hadapi kala itu tidak seperti yang ada pada garis imajiner saya, lambat laun saya bermisi untuk mewujudkan mimpi-mimpi tersebut di awal dengan mencari tempat kuliah yang menyediakan fasilitas yang saya maksud. Saat itu saya sedang berminat di bidang sastra, khususnya sastra Indonesia dan kebudayaan Jepang. Dengan latar belakang sains tidak pernah menghalangi saya untuk tetap bermimpi demikian.

Hampir bisa dikatakan bahwa orientasi kuliah saya bukan seperti apa yang orang lain butuhkan saat itu, bekerja dan berpenghasilan misalnya. Saya tidak berpikir akan mencari uang dengan materi pelajaran yang saya dapat dari kuliah. Saya merasa ada nilai kepuasan dan emosi tersendiri jika NANTI saya bisa masuk dan beraktivitas seperti apa yang kepala ini bayangkan: aktif, jalan-jalan, banyak teman. Bahkan saya sempat membayangkan bahwa diri saya tengah berada di lingkungan yang jauh dari kota dan di sana saya melakukan aksi sosial bersama kawan-kawan dari berbagai wilayah. Merdeka sekali mimpi saya waktu itu.

Memasuki salah satu fase penting dalam hidup, kekecewaan besar menghampiri ketika saya memutuskan untuk menanggalkan mimpi-mimpi demi hal yang hanya berupa materi. Ayah saya menuntut untuk kuliah di kampus yang murah dan cenderung memudahkan dalam mencari penghasilan. Saya melupakan sejenak bagaimana mimpi-mimpi menjadi seorang reporter, ahli desain majalah, penulis cerpen kampus, aktivis dakwah kampus yang militan, pemain basket kampus, dan pendaki gunung. Saya benar-benar menjadi seseorang tanpa visi ketika menjalani prosedur penerimaan mahasiswa baru. Benar-benar hanya karena materi.

Akhirnya, saya benar-benar menjadi mahasiswa dari sebuah kampus kecil yang bahkan tidak saya temukan serpihan-serpihan mimpi yang begitu besar sewaktu masih di SMP dan SMA. Saya terus berharap akan ada gerakan yang luar biasa dinamis dari sebuah kampus yang aktivitas mahasiswanya hanya seputar bangku kuliah-laboratorium-kost. Tidak ada aktivitas yang tergambar di imajinasi: surat kabar kampus di mana-mana, mading penuh dengan kritikan terhadap negara bahkan pimpinan kampus, agenda keagamaan dalam lingkup nasional yang menghadirkan pembicara nasional kemudian diliput media, mahasiswa saling serang dengan berbagai ideologi reformis, juga kegiatan alam yang sangat terlihat, yang paling penting adalah almamater selalu tampak karena kampus selalu padat dengan agenda kemahasiswaan. Saya pun memimpikan tempat saya kuliah nanti adalah tempat yang tak pernah kering dengan aksi dan orasi, karena bagi saya itulah sebuah kehormatan bagi mahasiswa, suara dan aspirasi mereka yang berteriak atas nama keadilan.

Mimpi-mimpi yang bagi saya masih berupa mozaik-mozaik berharap akan tersusun jika saya berkuliah di tempat yang tepat. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi tidak demikian adanya. Saya tidak menemukan kampus dengan surat kabar mahasiswa yang bertebaran, saya tidak menemukan artikel-artikel yang berisi kritik dan saran untuk pembangunan negeri, saya tidak menemukan kegiatan dinamis yang menonjol dari himpunan kepecintaalaman, saya tidak menemukan orang-orang berjaket tebal dan berjilbab panjang dengan militansi hebat menyelesaikan agenda-agenda besar, saya tidak menemukan segerombolan orang beralmamater yang selalu berjalan cepat karena agenda mereka begitu padat. Itulah kekeringan yang sangat mengerikan hingga kaki-kaki ini seolah mengatakan tidak mampu lagi menopang di saat isu-isu kebangsaan seakan membutuhkan kondisi yang ada pada mimpi saya.

Keadaan demikian masih saya tunggu hingga setengah tahun, berharap ada hal yang seperti kejutan tentang kelanjutan mimpi. Terus beroptimis bahwa hal-hal itu tengah direncanakan, namun semakin ditunggu semakin kekecewaan besar itu membuat lubang di hati. Saya membandingkan kondisi di kampus saya dengan kondisi kampus besar lain yang sangat terkoordinasi dan manajerial yang baik. Surat kabar beredar dengan rutin, info regional, nasioal, dan internasional terkelola dengan apik, kampus dinamis dengan nuansa revolusi yang kental, almamater di mana-mana, diskusi selalu hidup. Dalam hati yang sudah terlanjur marah ini selalu bertanya, “Kapan kampusku bisa begitu?”

Ketika saya ceritakan kondisi kampus yang luar biasa seperti di atas, bukan evaluasi besar (seperti yang saya harapkan) yang muncul, justru alasan yang dibuat-buat untuk ‘mewajarkan’ keterbelakangan kampus kecil milik kami ini.

“Wajar kampus X besar.”

“Wajar kampus Y sudah lama berdiri.”

“Kita kan beda dengan kampus Z.”

Dalam hati saya menjerit, “Warna rambut, makanan pokok, kebangsaan, dan status kemahasiswaan antara mahasiswa kampus ini dan X, Y, Z, SAMA!!! Kita semua sama-sama mahasiswa Indonesia, kenapa mencari celah untuk membela keterbelakangan dan ketertinggalan??”
Hal itu membuat saya semakin antipati dengan kampus ini, terlebih ketika orang-orang di dalam sana tidak berani saat hak dan harga diri diinjak-injak tanpa dalih.

NAMUN, guru terbaik tetap disandang oleh ribuan pengajaran hidup yang tak pernah bosan dalam berusaha menyatukan mozaik-mozaik impian saya. Setengah tahun setelah mereka tercecer entah kemana, bersama kekecewaan yang mana, masih bisa ditolong atau tidak, lagi-lagi hanya tindakan dan kejadian yang mengingatkan saya tentang semua kekecewaan dan harapan. Setelah hampir 6 tahun  memenjarakan mimpi-mimpi instan, 6 bulan saya belajar banyak arti melalui orang-orang bijak, melalui karya sastra, melalui tangan Tuhan yang ikut menuntun saya dalam ranah pergerakan yang sesungguhnya.

Berbagai kejadian dan hikmah di balik musibahlah yang menuntun saya untuk tetap merajut mimpi-mimpi lain untuk menciptakan sebuah momentum. Memang saya tidak menemukan apa-apa yang saya harapkan di awal pejalanan ini, namun itu berarti bukan suatu alasan saya untuk berhenti bermimpi dan mewujudkan. Sejatinya, meraih mimpi bukan sekadar kita menemukannya tanpa perjuangan, selain mencari yang siap untuk dipetik, kita bisa ‘menciptakannya’ kemudian kita ambil sebagai buah karya kita.

(….Insya Allah bersambung)
Categories: ,

0 komentar:

Posting Komentar