Dulu, saya pernah berangan-angan
menuntut ilmu di tempat yang memiliki banyak kegiatan kemahasiswaan. Saya
bermimpi melalui buku-buku fiksi yang saya baca mulai dari SMP hingga SMA. Saya
ingin aktif di berbagai organisasi, bidang jurnalistik , keagamaan, keilmuan,
kepecintaalaman, hingga olahraga. Ada semangat tersendiri yang ada di dalam
jiwa ini begitu menuntaskan satu buku dan beranjak ke buku lain. Euphoria mimpi
itulah yang membawa saya untuk memiliki target besar: jika kuliah saya harus
AKTIF. Artinya, saya harus memasuki berbagai UKM untuk menuntaskan keinginan
saya tersebut.
Lulus SMP saya masuk ke SMA
dengan membawa semangat mimpi-mimpi di atas. Oleh karena itu saya aktif di ekstrakurikuler
jurnalistik dan sempat ingin menjadi anggota klub olahraga di sana. Saya juga
tertarik dengan OSIS, namun kesempatan justru memilih saya untuk menjadi ketua
di klub bahasa Inggris. Meskipun kenyataan yang saya hadapi kala itu tidak
seperti yang ada pada garis imajiner saya, lambat laun saya bermisi untuk
mewujudkan mimpi-mimpi tersebut di awal dengan mencari tempat kuliah yang
menyediakan fasilitas yang saya maksud. Saat itu saya sedang berminat di bidang
sastra, khususnya sastra Indonesia dan kebudayaan Jepang. Dengan latar belakang
sains tidak pernah menghalangi saya untuk tetap bermimpi demikian.
Hampir bisa dikatakan bahwa
orientasi kuliah saya bukan seperti apa yang orang lain butuhkan saat itu,
bekerja dan berpenghasilan misalnya. Saya tidak berpikir akan mencari uang
dengan materi pelajaran yang saya dapat dari kuliah. Saya merasa ada nilai
kepuasan dan emosi tersendiri jika NANTI saya bisa masuk dan beraktivitas
seperti apa yang kepala ini bayangkan: aktif, jalan-jalan, banyak teman. Bahkan
saya sempat membayangkan bahwa diri saya tengah berada di lingkungan yang jauh
dari kota dan di sana saya melakukan aksi sosial bersama kawan-kawan dari
berbagai wilayah. Merdeka sekali mimpi saya waktu itu.
Memasuki salah satu fase penting
dalam hidup, kekecewaan besar menghampiri ketika saya memutuskan untuk
menanggalkan mimpi-mimpi demi hal yang hanya berupa materi. Ayah saya menuntut
untuk kuliah di kampus yang murah dan cenderung memudahkan dalam mencari
penghasilan. Saya melupakan sejenak bagaimana mimpi-mimpi menjadi seorang
reporter, ahli desain majalah, penulis cerpen kampus, aktivis dakwah kampus
yang militan, pemain basket kampus, dan pendaki gunung. Saya benar-benar
menjadi seseorang tanpa visi ketika menjalani prosedur penerimaan mahasiswa
baru. Benar-benar hanya karena materi.
Akhirnya, saya benar-benar menjadi
mahasiswa dari sebuah kampus kecil yang bahkan tidak saya temukan
serpihan-serpihan mimpi yang begitu besar sewaktu masih di SMP dan SMA. Saya
terus berharap akan ada gerakan yang luar biasa dinamis dari sebuah kampus yang
aktivitas mahasiswanya hanya seputar bangku kuliah-laboratorium-kost. Tidak ada
aktivitas yang tergambar di imajinasi: surat kabar kampus di mana-mana, mading
penuh dengan kritikan terhadap negara bahkan pimpinan kampus, agenda keagamaan
dalam lingkup nasional yang menghadirkan pembicara nasional kemudian diliput
media, mahasiswa saling serang dengan berbagai ideologi reformis, juga kegiatan
alam yang sangat terlihat, yang paling penting adalah almamater selalu tampak
karena kampus selalu padat dengan agenda kemahasiswaan. Saya pun memimpikan
tempat saya kuliah nanti adalah tempat yang tak pernah kering dengan aksi dan
orasi, karena bagi saya itulah sebuah kehormatan bagi mahasiswa, suara dan
aspirasi mereka yang berteriak atas nama keadilan.
Mimpi-mimpi yang bagi saya masih
berupa mozaik-mozaik berharap akan tersusun jika saya berkuliah di tempat yang
tepat. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi tidak demikian adanya. Saya tidak
menemukan kampus dengan surat kabar mahasiswa yang bertebaran, saya tidak
menemukan artikel-artikel yang berisi kritik dan saran untuk pembangunan negeri,
saya tidak menemukan kegiatan dinamis yang menonjol dari himpunan kepecintaalaman,
saya tidak menemukan orang-orang berjaket tebal dan berjilbab panjang dengan
militansi hebat menyelesaikan agenda-agenda besar, saya tidak menemukan
segerombolan orang beralmamater yang selalu berjalan cepat karena agenda mereka
begitu padat. Itulah kekeringan yang sangat mengerikan hingga kaki-kaki ini
seolah mengatakan tidak mampu lagi menopang di saat isu-isu kebangsaan seakan membutuhkan
kondisi yang ada pada mimpi saya.
Keadaan demikian masih saya
tunggu hingga setengah tahun, berharap ada hal yang seperti kejutan tentang
kelanjutan mimpi. Terus beroptimis bahwa hal-hal itu tengah direncanakan, namun
semakin ditunggu semakin kekecewaan besar itu membuat lubang di hati. Saya
membandingkan kondisi di kampus saya dengan kondisi kampus besar lain yang
sangat terkoordinasi dan manajerial yang baik. Surat kabar beredar dengan
rutin, info regional, nasioal, dan internasional terkelola dengan apik, kampus
dinamis dengan nuansa revolusi yang kental, almamater di mana-mana, diskusi
selalu hidup. Dalam hati yang sudah terlanjur marah ini selalu bertanya, “Kapan
kampusku bisa begitu?”
Ketika saya ceritakan kondisi
kampus yang luar biasa seperti di atas, bukan evaluasi besar (seperti yang saya
harapkan) yang muncul, justru alasan yang dibuat-buat untuk ‘mewajarkan’
keterbelakangan kampus kecil milik kami ini.
“Wajar kampus X besar.”
“Wajar kampus Y sudah lama
berdiri.”
“Kita kan beda dengan kampus Z.”
Dalam hati saya menjerit, “Warna
rambut, makanan pokok, kebangsaan, dan status kemahasiswaan antara mahasiswa
kampus ini dan X, Y, Z, SAMA!!! Kita semua sama-sama mahasiswa Indonesia,
kenapa mencari celah untuk membela keterbelakangan dan ketertinggalan??”
Hal itu membuat saya semakin
antipati dengan kampus ini, terlebih ketika orang-orang di dalam sana tidak
berani saat hak dan harga diri diinjak-injak tanpa dalih.
NAMUN, guru terbaik tetap disandang oleh ribuan pengajaran
hidup yang tak pernah bosan dalam berusaha menyatukan mozaik-mozaik impian
saya. Setengah tahun setelah mereka tercecer entah kemana, bersama kekecewaan
yang mana, masih bisa ditolong atau tidak, lagi-lagi hanya tindakan dan
kejadian yang mengingatkan saya tentang semua kekecewaan dan harapan. Setelah hampir
6 tahun memenjarakan mimpi-mimpi instan,
6 bulan saya belajar banyak arti melalui orang-orang bijak, melalui karya
sastra, melalui tangan Tuhan yang ikut menuntun saya dalam ranah pergerakan
yang sesungguhnya.
Berbagai kejadian dan hikmah di
balik musibahlah yang menuntun saya untuk tetap merajut mimpi-mimpi lain untuk
menciptakan sebuah momentum. Memang saya tidak menemukan apa-apa yang saya
harapkan di awal pejalanan ini, namun itu berarti bukan suatu alasan saya untuk
berhenti bermimpi dan mewujudkan. Sejatinya, meraih mimpi bukan sekadar kita
menemukannya tanpa perjuangan, selain mencari yang siap untuk dipetik, kita
bisa ‘menciptakannya’ kemudian kita ambil sebagai buah karya kita.
(….Insya Allah bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar