“Apakah menuntut itu suatu keharusan di jalan
ini? bukankah ketika seseorang dituntut, termasuk antum dan ana, tidak akan
menjalani perintah dengan lapang hati?” tanya seorang jundi kepada qiyadhahnya
yang memberi imbauan kepada jundi-jundi yang lain untuk menghadiri agenda
dakwah. Kondisi bukan saat lapang, melainkan hari-hari di mana kebanyakan
‘anak’ banyak yang menunaikan pertemuan sakral dengan orangtua, saat-saat libur
hari raya.
Lalu qiyadhah itu pun bertanya kembali kepada
jundi-jundi yang lain tentang ta’limat yang sama. Maka jawaban yang muncul tak
jauh berbeda dari jundi yang pertama.
“Afwan, Akh, ana sudah beli tiket dan datang
ke sini jauh hari setelah hari-H. Harga tiket sebelum itu sangat mahal.”
“Afwan, Akh, sebetulnya ana ingin sekali
mengikuti agenda tersebut, berpartisipasi layaknya teman-teman yang lain, namun
ana tidak bisa lagi meminta izin kepada orangtua di kampung. Ana sudah
terlanjur bilang akan menghabiskan waktu liburan bersama mereka.”
Tidak hanya jawaban-jawaban datar yang
diterima qiyadhah, beberapa di antara akhwat dan ikhwan pun ada yang menangis
karena tak kuasa menuturkan kondisi yang sebenarnya. Qiyadhah juga sebenarnya
tak tega mendengarkan alasan ketidakmampuan jundi-jundi menghadiri agenda
dakwah tersebut. Sejenak qiyadhah terdiam dan menyerahkan semuanya pada jundi
dengan perasaan yang sedikit berat, sangat berharap jundi-jundinya memahami
lebih jauh dan dalam.
------------
Apa yang bisa kita berikan sebagai solusi
atas permasalahan di atas? Saat qiyadhah memerintahkan untuk datang sedangkan
kondisi sebagai jundi sangat tidak memungkinkan hadir atas berbagai
pertimbangan. Keadaan seperti ini akan berpotensi menimbulkan sedikit friksi
yang mungkin akan berubah menjadi hambatan kepercayaan. Mungkin saja qiyadhah
akan merasa bahwa tadhliyah dari
jundi masih sangat kurang untuk dakwah ini, atau jundi yang menilai qiyadhah
tidak mempertimbangkan segala keputusan yang ia buat sehingga ta’limat
cenderung menjadi sebuah ‘tuntutan’. Padahal, jika kita mau merendahkan diri
lebih dalam kita akan mampu merasakan bahwa segala hal yang terjadi patut untuk
dijadikan pengajaran, karena sejatinya segala ilmu telah disebar di muka bumi
ini, maka pintar-pintarlah kita mengambil hikmahnya.
Sebagai qiyadhah, tidak mudah kita membuat
putusan yang sekiranya dapat diterima oleh jundi-jundi dan pihak lain.
Memikirkan untuk kebaikan ummat pun bukan hal yang bisa dicapai dari satu atau
dua malam merenung. Dalam mengambil kebijakan pun selalu lebih baik jika kita
melibatkan jundi, apalagi yang akan menjalankan kebijakan itu mereka. Namun
untuk hal-hal tertentu memang tidak selamanya jundi terlibat, oleh karena itu
memahamkan dengan hikmah adalah solusi terbaik untuk tiap persoalan. Mungkin
juga miss-orientation qiyadhah yang
membuat putusan menjadi kurang berkah, yaitu melupakan ridho Allah, qiyadhah
lupa bahwa yang terpenting dari sebuah putusan adalah pertimbangan apakah Allah
meridhoi atau tidak.
Sebagai jundi, khususnya bagi yang baru di
jalan ini, memang tidak mudah menerima sebuah instruksi apalagi hal itu
bertentangan dengan apa yang kita cintai dan sayangi. Seakan-akan jalan dakwah
telah merenggut semua kebiasaan dalam hidup ini. Seperti orangtua, dalam
ilustrasi di atas digambarkan suatu keadaan di mana aktivis dakwah harus
memilih menaati qiyadhah atau menunaikan kewajiban sebagai anak. Mari menadaburi
firman Allah:
“Hai orang-orang
yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-nisa: 59)
Jika kepada ulil amri kita diperintahkan
untuk taat sedangkan kepada orangtua kita diperintahkan untuk berbakti. Sebenarnya
tidak ada makna yang saling bertentangan, tidak pula diartikan ulil amri lebih
penting daripada orangtua. SAMA SEKALI BUKAN. Namun, tidakkah ayat di atas juga
mengingatkan kembali pada kisah Musab bin Umair yang meninggalkan ibunya demi
menunaikan ketaatannya pada Rasulullah? Mungkin akan ada yang berpendapat,
Musab bin Umair beriman sedangkan ibunya tidak demikian, berbeda kondisi dengan
kita semua yang Insya Allah semuanya beriman. Sekali lagi, ini bukanlah
provokasi untuk mengabaikan orangtua. Permasalahan di awal juga tidak seutuhnya
menyuruh kita untuk memilih antara dakwah dan orangtua karena sebnarnya kita
bisa menyiasati itu semua. Kita masih diberikan hak untuk bertemu mereka hanya
saja waktu yang sedikit diminta sebagai tadhliyah
dakwah karena kondisi memang membutuhkan kehadiran kita.
Mengapa kehadiran kita begitu penting?
Ada sebuah teori unik yang sering saya
jadikan pengingat ketika sedang lemah,
“Kadar
kemilitansian kita memengaruhi ikatan hati dengan saudara kita, jangan berharap
ukhuwah kita sama dengan ukhuwah mereka jika militansi dan totalitas perjuangan
kita hanya setengah-setengah dan cenderung tidak merata, bak pengusung keranda
mayat ada yang tinggi dan rendah: jelas beban mereka tidak akan sama.”
Lalu firman-Nya,
“Dan Yang
mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu
membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat
mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.
Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Anfal: 63)
Memang hanya Allah yang memiliki kuasa untuk
menyatukan hati orang-orang mukmin, dan ikhtiar kita semua adalah bagian dari
takdir yang telah Ia tentukan. Bukan sebatas tuntutan mengapa kita harus
melakukan ini dan itu, atau pergi ke sini dan situ, atau bertingkah begini dan
begitu. Lebih dari sekadar sebuah perintah, yakni rasa kebersamaan yang kita
bangun bersama di awal bata pertama ukhuwah ini. Jika hanya memenuhi target dan
fungsi kader dakwah di medan, saya sudah cukup banyak orang-orang seperti kita
di sana. Mungkin kehadiran kita terkadang tidak memberikan kontribusi nyata
karena itu di luar amanah kita, kemudian kita berpikir bahwa tidak ada gunanya
kita di medan dakwah itu bersama mereka.
Akan tetapi, tidakkah kita juga ingin mencicipi manisnya ukhuwah bersama mereka
yang berjuang lebih keras?
Alangkah indah ketika kita menyaksikan
perjuangan formal teman-teman kita, lalu kita yang menyeka keringat mereka dan
menwarkan madu serta sari kurma. Manis rasanya saat kita bisa menjadi penguat
mereka. Yah, memang semua itu akan kita rasakan jika kita mampu memandang
segala macam hal lebih jauh ke depan, karena ukhuwah terlampau mahal untuk digadaikan
dengan kesenangan dunia dan isinya.
Yaa Allah, Engkau mengetahui bahwa hati-hati ini telah
berhimpun dalam cinta kepada-Mu, bertemu dalam taat kepada-Mu, bersatu dalam
da’wah kepada-Mu, berpadu dalam membela syariat-Mu. Yaa Allah, kokohkanlah
ikatannya, kekalkanlah cintanya, tunjukillah jalan-jalannya. Penuhilah
hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tidak pernah pudar. Lapangkanlah
dada-dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan bertawakal
kepada-Mu. Hidupkanlah hati kami dengan ma’rifat kepada-Mu. Matikanlah kami
dalam keadaan syahid di jalan-Mu. Sesungguhnya Engkaulah Sebaik-baik Pelindung
dan Sebaik-baik Penolong. Yaa Allah, kabulkanlah. Yaa Allah, dan sampaikanlah
salam sejahtera kepada junjungan kami, Muhammad SAW, kepada para keluarganya,
dan kepada para sahabatnya, limpahkanlah keselamatan untuk mereka.
Waalllahu’alam
0 komentar:
Posting Komentar