Selasa, 31 Juli 2012

Di Balik Kehadiranmu, Akh, Ukh



“Apakah menuntut itu suatu keharusan di jalan ini? bukankah ketika seseorang dituntut, termasuk antum dan ana, tidak akan menjalani perintah dengan lapang hati?” tanya seorang jundi kepada qiyadhahnya yang memberi imbauan kepada jundi-jundi yang lain untuk menghadiri agenda dakwah. Kondisi bukan saat lapang, melainkan hari-hari di mana kebanyakan ‘anak’ banyak yang menunaikan pertemuan sakral dengan orangtua, saat-saat libur hari raya.


Lalu qiyadhah itu pun bertanya kembali kepada jundi-jundi yang lain tentang ta’limat yang sama. Maka jawaban yang muncul tak jauh berbeda dari jundi yang pertama.

“Afwan, Akh, ana sudah beli tiket dan datang ke sini jauh hari setelah hari-H. Harga tiket sebelum itu sangat mahal.”

“Afwan, Akh, sebetulnya ana ingin sekali mengikuti agenda tersebut, berpartisipasi layaknya teman-teman yang lain, namun ana tidak bisa lagi meminta izin kepada orangtua di kampung. Ana sudah terlanjur bilang akan menghabiskan waktu liburan bersama mereka.”

Tidak hanya jawaban-jawaban datar yang diterima qiyadhah, beberapa di antara akhwat dan ikhwan pun ada yang menangis karena tak kuasa menuturkan kondisi yang sebenarnya. Qiyadhah juga sebenarnya tak tega mendengarkan alasan ketidakmampuan jundi-jundi menghadiri agenda dakwah tersebut. Sejenak qiyadhah terdiam dan menyerahkan semuanya pada jundi dengan perasaan yang sedikit berat, sangat berharap jundi-jundinya memahami lebih jauh dan dalam.

------------

Apa yang bisa kita berikan sebagai solusi atas permasalahan di atas? Saat qiyadhah memerintahkan untuk datang sedangkan kondisi sebagai jundi sangat tidak memungkinkan hadir atas berbagai pertimbangan. Keadaan seperti ini akan berpotensi menimbulkan sedikit friksi yang mungkin akan berubah menjadi hambatan kepercayaan. Mungkin saja qiyadhah akan merasa bahwa tadhliyah dari jundi masih sangat kurang untuk dakwah ini, atau jundi yang menilai qiyadhah tidak mempertimbangkan segala keputusan yang ia buat sehingga ta’limat cenderung menjadi sebuah ‘tuntutan’. Padahal, jika kita mau merendahkan diri lebih dalam kita akan mampu merasakan bahwa segala hal yang terjadi patut untuk dijadikan pengajaran, karena sejatinya segala ilmu telah disebar di muka bumi ini, maka pintar-pintarlah kita mengambil hikmahnya.

Sebagai qiyadhah, tidak mudah kita membuat putusan yang sekiranya dapat diterima oleh jundi-jundi dan pihak lain. Memikirkan untuk kebaikan ummat pun bukan hal yang bisa dicapai dari satu atau dua malam merenung. Dalam mengambil kebijakan pun selalu lebih baik jika kita melibatkan jundi, apalagi yang akan menjalankan kebijakan itu mereka. Namun untuk hal-hal tertentu memang tidak selamanya jundi terlibat, oleh karena itu memahamkan dengan hikmah adalah solusi terbaik untuk tiap persoalan. Mungkin juga miss-orientation qiyadhah yang membuat putusan menjadi kurang berkah, yaitu melupakan ridho Allah, qiyadhah lupa bahwa yang terpenting dari sebuah putusan adalah pertimbangan apakah Allah meridhoi atau tidak.

Sebagai jundi, khususnya bagi yang baru di jalan ini, memang tidak mudah menerima sebuah instruksi apalagi hal itu bertentangan dengan apa yang kita cintai dan sayangi. Seakan-akan jalan dakwah telah merenggut semua kebiasaan dalam hidup ini. Seperti orangtua, dalam ilustrasi di atas digambarkan suatu keadaan di mana aktivis dakwah harus memilih menaati qiyadhah atau menunaikan kewajiban sebagai anak. Mari menadaburi firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-nisa: 59)

Jika kepada ulil amri kita diperintahkan untuk taat sedangkan kepada orangtua kita diperintahkan untuk berbakti. Sebenarnya tidak ada makna yang saling bertentangan, tidak pula diartikan ulil amri lebih penting daripada orangtua. SAMA SEKALI BUKAN. Namun, tidakkah ayat di atas juga mengingatkan kembali pada kisah Musab bin Umair yang meninggalkan ibunya demi menunaikan ketaatannya pada Rasulullah? Mungkin akan ada yang berpendapat, Musab bin Umair beriman sedangkan ibunya tidak demikian, berbeda kondisi dengan kita semua yang Insya Allah semuanya beriman. Sekali lagi, ini bukanlah provokasi untuk mengabaikan orangtua. Permasalahan di awal juga tidak seutuhnya menyuruh kita untuk memilih antara dakwah dan orangtua karena sebnarnya kita bisa menyiasati itu semua. Kita masih diberikan hak untuk bertemu mereka hanya saja waktu yang sedikit diminta sebagai tadhliyah dakwah karena kondisi memang membutuhkan kehadiran kita.

Mengapa kehadiran kita begitu penting?

Ada sebuah teori unik yang sering saya jadikan pengingat ketika sedang lemah,

“Kadar kemilitansian kita memengaruhi ikatan hati dengan saudara kita, jangan berharap ukhuwah kita sama dengan ukhuwah mereka jika militansi dan totalitas perjuangan kita hanya setengah-setengah dan cenderung tidak merata, bak pengusung keranda mayat ada yang tinggi dan rendah: jelas beban mereka tidak akan sama.”

Lalu firman-Nya,

“Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Anfal: 63)

Memang hanya Allah yang memiliki kuasa untuk menyatukan hati orang-orang mukmin, dan ikhtiar kita semua adalah bagian dari takdir yang telah Ia tentukan. Bukan sebatas tuntutan mengapa kita harus melakukan ini dan itu, atau pergi ke sini dan situ, atau bertingkah begini dan begitu. Lebih dari sekadar sebuah perintah, yakni rasa kebersamaan yang kita bangun bersama di awal bata pertama ukhuwah ini. Jika hanya memenuhi target dan fungsi kader dakwah di medan, saya sudah cukup banyak orang-orang seperti kita di sana. Mungkin kehadiran kita terkadang tidak memberikan kontribusi nyata karena itu di luar amanah kita, kemudian kita berpikir bahwa tidak ada gunanya kita di medan dakwah itu bersama mereka.

Akan tetapi, tidakkah kita juga ingin mencicipi manisnya ukhuwah bersama mereka yang berjuang lebih keras?

Alangkah indah ketika kita menyaksikan perjuangan formal teman-teman kita, lalu kita yang menyeka keringat mereka dan menwarkan madu serta sari kurma. Manis rasanya saat kita bisa menjadi penguat mereka. Yah, memang semua itu akan kita rasakan jika kita mampu memandang segala macam hal lebih jauh ke depan, karena ukhuwah terlampau mahal untuk digadaikan dengan kesenangan dunia dan isinya.

Yaa Allah, Engkau mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta kepada-Mu, bertemu dalam taat kepada-Mu, bersatu dalam da’wah kepada-Mu, berpadu dalam membela syariat-Mu. Yaa Allah, kokohkanlah ikatannya, kekalkanlah cintanya, tunjukillah jalan-jalannya. Penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tidak pernah pudar. Lapangkanlah dada-dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan bertawakal kepada-Mu. Hidupkanlah hati kami dengan ma’rifat kepada-Mu. Matikanlah kami dalam keadaan syahid di jalan-Mu. Sesungguhnya Engkaulah Sebaik-baik Pelindung dan Sebaik-baik Penolong. Yaa Allah, kabulkanlah. Yaa Allah, dan sampaikanlah salam sejahtera kepada junjungan kami, Muhammad SAW, kepada para keluarganya, dan kepada para sahabatnya, limpahkanlah keselamatan untuk mereka.

Waalllahu’alam

0 komentar:

Posting Komentar