Banyak yang bilang wanita itu cengeng, sedikit-sedikit menangis. Ketika
kita (umat muslim khususnya muslimah) menerima kesedihan maka kita akan
menangis, demikian pun jika kegembiraan tiada tara yang hadir kita juga menangis.
Namun, orang-orang kafir sama halnya seperti kita. Mereka juga menangis baik
dalam sedih maupun bahagia. Lalu apa yang membedakan menangisnya seorang muslim
dan kafir?
Yang perlu dipahamkan, menangis bagaimanakah yang mendapat
keutamaan? Suadara-saudaraku mari sejenak kita berlayar ke masa lalu, menyelami
bi’ah penuh makna dari berbagai torehan sejarah. Berikut merupakan kisah
ketegaran muslimah yang insya Allah menghuni jannah.
Pertama, tentang
keluarga da’i Abu Thohah. Suatu ketika Abu Thohah mendapat perintah dari
Rosulullah untuk berangkat berjihad. Saat itu ia dan istri baru saja dikaruniai
seorang anak yang sudah lama dinanti. Seharusnya berat hati sepasang suami
istri tersebut untuk melaksanakan perintah Rosul ditambah kondisi anak mereka
yang sedang sakit. Namun, istri Abu Thohah justru menguatkan tekad Abu Thohah
untuk berjihad.
Sepulang berjihad, Abu Thohah disambut dengan begitu hangat oleh
istrinya. Istri berdandan begitu cantik dan mempersembahkan malamnya untuk
suami tercinta. Ketika itu Abu Thohah belum ingat bahwa ia dulu meninggalkan anak
mereka dalam keadaan sakit, hingga istrinya memberikan sedikit tausiyah dan
berita,
“Suamiku, bagaimana menurutmu jika barang yang dititipkan orang
diambil pemiliknya?”
“Tentu saja harus mengikhlaskan.”
“Nah, anak kita sudah diminta kembali oleh Allah.”
Barulah Abu Thohah ingat bahwa anaknya dulu sakit dan saat ia
pulang anaknya tersebut sudah kembali ke rahmatullah. Sungguh luar biasa
ketegaran yang dimiliki istri Abu Thohah. Bagaimana wanita bisa mengatur emosi
jiwanya seperti demikian?
Kedua, kisah
ibunda Nabi Musa AS. Bagaimana manajemen hati seorang wanita ketika menerima
kabar bahwa anak laki-laki yang ia sayangi harus dibunuh karena suatu rezim
penguasa? Saat-saat mengerikan adalah ketika harus menyaksikan darah daging
kita dibunuh di depan mata kita sendiri. Namun ibunda Nabi Musa AS telah
diberikan segala keutamaan oleh Allah SWT melalui hidayah dan ketegarannya. Hidayah
ketika diperintah menghanyutkan Nabi Musa ke sungai Nil dan ketegaran saat
harus menjaga aliran sungai hingga ditemukan oleh Asiyah istri Fir’aun.
Ketiga,
perjuangan Bunda Hajar yang ditinggalkan Nabi Ibrahim. Saat Ibrahim
meninggalkan Hajar di lembah tak berpenghuni, menggendong bayi yang masih
menyusu, dan hanya dibekali dengan setangguk air. Terbayangkah oleh kita
bagaimana rasa takut dan gejolak hati beliau? Tanpa siapa-siapa, tanpa bekal,
tanpa tangis.
Beliau
tetap sabar, terlebih ketika Ibrahim tak menoleh saat Hajar menanyainya, “Apakah Allah yang
menyuruhmu?” Ibrahim membenarkannya. Apa jawaban Hajar?
“Kalau
begitu ia tak akan menyia-nyiakan kami.”
Kemuliaan atas sabar yang dimiliki
Hajar berlanjut ketika anaknya, Ismail, hendak disembelih oleh Ibrahim atas
perintah Allah. KATAKAN! Dari mana lagi beliau mendapat ketegaran luar biasa???
Hikmah yang bisa kita ambil dari ketiga kisah di atas adalah bahwa
sesungguhnya tangisan itu tidak seharusnya tidak ditujukn ketika kita mendapat
cobaan dari Allah SWT. Seharusnya bukan menangis yang kita lakukan ketika
merasa dunia ini seakan sempit dengan beban-beban hidup serta amanah yang
bertebaran. Karena bagi muslimah yang mengerti, cobaan adalah bagian dari cara
Allah untuk membuat diri kita lebih berkualitas di hadapan-Nya.
Lalu menangis bagaimana yang sebenarnya diutamakan?
Kembali kita belajar dari sejarah. Sejarah ini dating dari seorang
sahabiyah tua, Ummu Aiman, yang semasa
hidup Rosulullah sering berkunjung ke rumahnya karena ketaatan pada Allah dan
Rosul-Nya. Setelah Rosulullah wafat, dua sahabat istimewa beliau yaitu Abu
Bakar dan Umar bin Khattablah yang menunaikan kebiasaan Rosulullah untuk
berkunjung ke rumah Ummu Aiman. Hal yang mengejutkan terjadi, didapati oleh
kedua sahabat Rosul bahwa Ummu Aiman tengah menangis tersendu-sendu. Padahal saat
itu tidak sedang terjadi masalah besar.
Ketika ditanyai, Ummu Aiman menjawab, “Bagaimana aku tidak
menangis, wahyu-wahyu Allah sudah tidak akan turun ke muka bumi ini sepeninggal
Rosulullah. Tidak akan pernah.”
Lagi dan lagi. Kita dihadapkan pada sebuah pembanding yang sangat
luar biasa. Dari sini saya menyimpulkan bahwa tangis karena takut dan rindu pada
Allah-lah yang seharusnya kita lakukan. Karena hanya pada-Nyalah kita diizinkan
untuk takut dan berharap. Maka, alasan apa yang bisa meringankan untuk
cenderung lebih memikirkan cobaan-cobaan daripada Sang Pencipta cobaan
tersebut?
"Maka janganlah kamu takut kepada
mereka, tapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yang beriman." (QS
Ali Imran (3) : 175)
Semoga dengan ini kita semua akan merevisi kembali niatan kita
menangis. Bergegas untuk kembali menjadikan keimanan kita berkualitas dengan
terus menjadikan Allah sebagai tujuan.
Waallahu’alam.
JR :P
BalasHapusYapsss
BalasHapus